Peringatan 60 tahun Deklarasi HAM
se-dunia, hari Rabu diperingati para
buruh dengan menggelar unjuk
rasa menuntut pemenuhan hak-hak
mereka.
Komnas HAM mengkhawatirkan
krisis keuangan global sekarang ini
akan berdampak buruk terhadap
hak-hak dasar kaum buruh.
Hal ini terlihat dari mulai terjadinya
pemutusan hubungan kerja secara
massal terhadap buruh. Pemerintah
diminta untuk memperhatikan
jaminan sosial para buruh dan
rakyat kecil yang menjadi korban
krisis.
Unjuk rasa sejumlah serikat buruh
dan mahasiswa di sekitar Tugu
Monas ini, menuntut agar
pemerintah memperhatikan hak
dasar buruh yang terancam akibat
krisis keuangan global.
Para buruh khawatir, apabila
pemerintah tidak berpihak kepada
kepentingan buruh, mereka akan
menjadi korban kebijakan PHK atau
pengurangan hak-hak lainnya,
seperti dikemukakan Rudy Daman
adalah koordinator unjuk rasa.
Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi sebelumnya
menerima permintaan sejumlah
perusahaan yang berniat melakukan
PHK terhadap lebih dari 12.000
orang pekerja dan merumahkan
sedikitnya seribu orang.
Sebagian besar dari perusahaan
yang mengajukan PHK tersebut
adalah sektor industri padat karya
yang berlokasi di Jawa Barat,
Kalimantan Barat, Riau, Jawa Timur,
dan Jawa Tengah.
Laporan yang dirilis LSM YLBHI
November lalu, bahkan
memprediksi tiga juta buruh
industri terancam dipecat pada
tahun depan akibat krisis keuangan
sekarang ini.
Komnas HAM juga mencatat krisis
keuangan global ini berdampak
buruk terhadap hak-hak dasar
buruh.
Sumber : BBC, 10 Desember 2008
Koneksi internet bisa kita manfaatkan untuk mencari beberapa hal,baik segi positif dan negatif.. Banyak hal yang dapat kita peroleh dari koneksi internet ini,salah satunya ilmu pengetahuan.Dengan semakin pesatnya kemajuan zaman,komputer dan internet sudah bisa di jangkau oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia..maka dari itu kita manfaatkan kesempatan ini untuk menggali ilmu pengetahuan dari dunia maya..."MARI BELAJAR DI DUNIA MAYA"
Senin, 28 Juni 2010
Minggu, 27 Juni 2010
KESEJAHTERAAN BURUH, KAPAN[?]
Oleh : AGUNG DWI ASTIKA, SH
Direktur YLBHI-LBH bali
“Kita tak ingin menjadi negara
yang menindas hak hidup buruh,
anak dan melukai martabat
manusia.Kita tak mau jadi
negara yang hanya berpikir
untuk menaikan pendapatan,kita
mesti jadi negara yang
memprioritaskan kehidupan
rakyat”
(Hugo Chaves, Presiden
Venezuela)
Pengantar
Pemerintah boleh saja secara
terbuka mengatakan bahwa negara
ini mengalami kemajuan dalam
dunia investasi. dengan
disahkannya UU Penanaman Modal
Asing (UU PMA), yang konon
dampaknya akan mensejahterakan
rakyat. Apa ia ?
Justru klaim negara ini akan runtuh.
bila kita periksa UU PMA/Investasi,
yang justru hanya memberikan
kesempatan pada Pelaku pasar/
investor/pengusaha untuk
“berusaha” yang seluas-luasnya.
Kesempatan “berusaha” yang luas
ini tentunya mengancam budaya
lokal bila diterjemahkan salah oleh
pengusaha apa lagi belum terbentuk
peraturan pelaksanaannya.Ini Bukti
bahwa negara masih berpihak pada
pengusaha/pemodal dengan
memeberikan fasilitas-fasilitas
“kemewahan” yang kesekian kali
setelah sebelumnya disahkannya
tiga (3) paket UU Ketenagakerjaan/
Perburuhan (UU.No 21/2000 tentang
serikat buruh/serikat pekerja, UU.No
13/2003 ttg ketenagakerjaan, dan
UU.No. 2/2004 ttg PPHI).
Apa yang dirasakan sebagai
privelege pengusaha ini justru
bertolak belakang dengan apa yang
dirasakan oleh buruh/pekerja.
Dimana diterbitkannya regulasi-
regulasi ini telah menghilangkan
sebuah “kepastian” terhadap kaum
buruh/pekerja. Harusnya
pemerintah berhati-hati dengan
dalih dari pengusaha : “...bahwa
pengusaha itu menciptakan
lapangan kerja sehingga dapat
mempekerjakan buruh dan
mengurangi angka pengangguran”.
Dalih ini perlu disikapi sebagai alasan
pengusaha untuk mendapatkan
fasilitas dari pemerintah/negara,
justru harus diingat sudah
merupakan konsekuensi logis ketika
orang ingin mendapat keuntungan/
laba besar dengan membuat
sebuah usaha maka ia harus
mempekerjakan orang-orang atau
buruh. Untuk mendapatkan
keuntungannya maka pengeluaran
harus ditekan semaksimal mungkin
termasuk menekan buruh.
Bagaimana dengan kondisi buruh di
Bali?
Kondisi buruh Indonesia tahun 2007
ini sangat suramnya dan
memperihatinkan . Tingginya angka
pencari kerja, membumbungnya
angka pengangguran, maraknya
PHK, minimnya jaminan sosial
terhadap tenaga kerja baik pekerja
tetap maupun pekerja kontrak
merupakan beberapa fakta yang
telah mewarnai kehidupan buruh
tahun 2007
Kondisi ini dirasakan juga dalam
dunia perburuhan di Bali, banyak
faktor penyebab untuk itu Pertama,
belum meningkatnya angka
kunjungan wisatawan. Kedua, kalah
bersaingnya buruh/pekerja
domestik dengan buruh/pekerja
asingnya. Ketiga, belum
konsistennya negara menjalankan
tiga paket UU ketenagakerjaan
yaitu:UU.No 21/2000 tentang serikat
buruh/serikat pekerja, UU.No
13/2003 tentang ketenagakerjaan,
dan UU.No. 2/2004 tentang PPHI.
Keempat, belum solid-nya buruh/
pekerja dalam memperjuangkan
kepentingan bersama.
Kelima,semakin hegemoniknya
pasar (pelaku usaha/investor) dalam
mempengaruhi hidup bersama (UU
PMA).
Harus diakui bahwa industri
pariwisata masih menjadi tulang
punggung Bali. Hotel, restaurant,
travel, cargo, jasa, niaga, hiburan,
handycraft, garment serta niaga
menjadi simpul industri dan
menjadi pemasok tenaga kerja
terbesar. Sehingga buruh/pekerja di
sektor-sektor vital ini menjadi
korban paling pertama ketika terjadi
peristiwa bom Bali I dan II beberapa
tahun lalu. Hingga kini
pemulihannyapun masih
membutuhkan jangka waktu yang
panjang. Hal ini terjadi secara
menyeluruh dari Kabupaten
Jembrana, Buleleng, Gianyar,
Karangasem, Badung hingga
Kotamadya Denpasar.
Dampak penting dari keterpurukan
kesejahteraan buruh/pekerja telah
menyebabkan
Pertama, rendahnya upah
minimum propinsi/kota/kabupaten
yang tak memenuhi standar
kebutuhan hidup layak seperti yang
tertuang dalam Permenakertrans,
No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang
komponen dan pelaksanaan
tahapan pencapaian kebutuhan
hidup layak (KHL).
Kedua, berkurangnya hak-hak yang
diterima buruh/pekerja juga
jaminan atas pekerjaan akibat trend
perubahan status dari pekerja tetap
menjadi pekerja kontrak (out
sourching).
Ketiga,perpindahan kepemilikan
beberapa perusahaan di Bali yang
praktis akan meminimalisir buruh/
pekerja yang dipandang tak
profesional dan berkompeten.
Keempat,menguatnya arus gejala
kriminalisasi buruh/pekerja, dimana
masalah buruh/pekerja dalam
perusahan di larikan ke hukum
pidana meniadakan paket UU
tentang perburuhan.
Data dinas tenaga kerja Propinsi Bali
tahun 2004; menyebutkan jumlah
pengangguran di Bali, mencapai
89.890 orang. Di bulan November
tahun 2005 tingkat rata-rata pencari
kerja sebanyak 29.555 orang,
sementara lowongan kerja yang
tersedia hanya 250 buah. Bisa
dikatakan akibat tingginya biaya
hidup jumlah pencari pekerja
meningkat tajam. Tetapi ironinya tak
diimbangi oleh jumlah lowongan
pekerjaan yang tersedia. Di bulan
Agustus 2006 terdapat 208.567
orang buruh/pekerja yang
tertampung di 5.083 buah
perusahan (kecil, menengah dan
besar). Selain itu jumlah PHK atau
“terpaksa” melakukan PHK secara
massal signifikant ! Seperti yang
menimpa 214 buruh/pekerja Hotel
Bali Cliff, 26 buruh/pekerja Hotel
Oval Legian, 36 buruh/pekerja Hotel
Bali Sani dan 50 buruh/pekerja Villa
Rumah Manis. Belum terhitung
yang di PHK secara personal.
Pelanggaran Hak Buruh adalah
Pelanggaran HAM
Pemerintah RI selalu mengatakan
bahwa negara ini telah mengalami
kemajuan dalam upaya penegakkan
HAM. Konon, hal ini dibuktikan
dengan diratifikasinya kovenan hak
sipil-politik (sipol) dan kovenan hak
ekonomi, sosial, budaya (ecosob)
pada tahun 2004. Dua (2) kovenan
ini resmi diakui dalam khasanah
hukum positif RI. Dua kovenan ini
juga merupakan kovenan yang
paling diakui ke-“universalan”-nya di
kancah pergaulan negara-negara
dunia. Namun, bagaimana dengan
prakteknya
Dalam kovenan Hak Ekonomi Sosial
Budaya diatur dengan tegas
Mengenai hak-hak buruh dalam
pasal 6 sampai dengan pasal 9
Kovenan Hak Ekonomi Sosial
Budaya yang intinya menyatakan
bahwa :
1. Pasal 6 tentang bahwa negara
menjamin hak setiap orang untuk
mencari nafkah dengan bebas
berdasarkan keinginannya.
2. Pasal 7 tentang syarat-syarat
perburuhan yang adil dan
menguntungkan.
3. Pasal 8 mengatur tentang bahwa
negara wajib mengakui hak-hak
setiap orang untuk membentuk dan
menjadi anggota serikat pekerja.
4. Dan pasal 9 bahwa negara
mengatur tentang keharusan
mengakui hak jaminan sosial pada
setiap orang.
Dengan demikian sangat jelas
bahwa negara wajib melindungi,
menghormati dan melakukan
pemenuhan terhadap hak-hak setiap
orang dalam masalah perburuhan.
Pelanggaran HAM justru terjadi
ketika negara mengabaikan
kewajibannya terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Sejauh ini belum
terlihat negara berpihak kepada
kepentingan kaum buruh, tiga paket
UU perburuhan yakni UU No.21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja,
UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagkerjaan dan UU No 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. 3
paket UU tenaga kerja ini justru lahir
dari kesepakatan pemerintah RI
dengan IMF
Pada tanggal 15 Januari 1998, IMF
(International Monetery Fund)
mendesak pemerintah RI untuk
menandatangani Nota
Kesepahaman (Letter of Intent)
tentang kebijakan sektor
perburuhan. Sehingga, tak bisa
dipungkiri 3 paket UU tersebut
merupakan kesepakatan RI dengan
kapitalisme global. Usulan IMF
adalah penataan ulang sistem,
prosedur, privatisasi
ketenagakerjaan dan penyediaan
lahan baru untuk industrialisasi.
Rekomendasi
Untuk mewujudkan kesejahteraan
buruh/pekerja maka hal yang mesti
dilakukan yaitu
Pertama, melakukan kerja-kerja
penguatan pengetahuan dan
ketrampilan dari buruh/pekerja dan
atau pengurus buruh/pekerja
tentang mekanisme yang diatur
dalam 3 paket UU
Ketenagakerjaan.Dimana juga
memberikan ruang bagi semua
pihak (LSM,Mahasiswa,Petani Dsb-
nya) untuk intens melakukan
pemantauan dan pengawasan
terhadap tata kelola dari politik
ketenagakerjaan/perburuhan.
Kedua, melakukan kontrol
demokrasi terhadap pelaku pasar
(investor,dll).Sebab salah satu akar
dari permasalahan utama dari
Republik ini adalah tak dikenanya
kontrol demokrasi yang ketat dalam
semangat HAM terhadap pelaku
pasar. Pelaku pasar selalu saja ber-
alibi bahwa urusan mereka adalah
urusan privat, namun ironinya
urusan yang mereka katakan
sebagai privat telah berdampak
urusan hidup bersama.
Ketiga, salah satu peran strategis
pemerintah adalah menjamin hak-
hak dasar buruh dan menjamin
kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun yang diatur dalam
undang-undang dan peraturan
yang lain yang sah. Sehingga
pemerintah diminta untuk konsisten
menerapkan Permenakertrans,
No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang
Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) sebagai
pengganti Kepmen yang lama baru
di tetapkan tanggal 26 Agustus
2005.Meski masih mengandung
banyak kelemahan namun Kepmen
yang baru ini lebih detail
mengklasifikasikan kebutuhan hidup
buruh/pekerja.
Keempat, Pemerintah harus berani
melakukan perubahan paradigma
politik pengupahan dengan cara:
1) melalui perundingan bersama di
tingkat perusahan. Pendekatan ini
sebaiknya diberlakukan untuk
buruh/pekerja yang sudah menjadi
anggota serikat buruh tingkat
perusahan. Juga diberlakukan bagi
kelompok-kelompok usaha yang
beroperasi di tingkat daerah
maupun di tingkat nasional (seperti
industri perbankan nasional,
kelompok-kelompok usaha yang
berada di bawah naungan satu atap,
dan lain-lain). Hal ini melalui
mekanisme perundingan bipartit
secara langsung antara serikat
buruh di perusahan dengan
pengusaha untuk menentukan
tingkat upah.
2) penetapan upah minimum
berfungsi sebagai jaring pengaman
sosial (upah terendah untuk
bertahan hidup) untuk melindungi
buruh yang upahnya paling rendah,
bukan untuk menggantikan
negosiasi upah antara serikat
pekerja/buruh dan pengusaha. Hal
ini dilakukan melalui dewan
pengupahan nasional. Dimana
sebaiknya diberlakukan bagi buruh
yang belum menjadi anggota
serikat buruh/pekerja. Juga bagi
buruh yang bekerja di sektor
informal dimana buruh yang
bekerja sebagai buruh paruh waktu
(part-timers), pembantu rumah
tangga, atau yang diperkerjakan di
suatu perusahan yang
mempekerjakan karyawan kurang
dari 10 orang atau yang bekerja
dengan perusahan yang tidak
termasuk dalam sektor in-formal.
Epilog
Kiranya ini yang bisa kami sajikan
sebagai sebuah renungan dalam
memperingati hari buruh tahun
2007 ini, hak tidak di beri tapi harus
direbut
Selamat hari buruh, Buruh bersatu
tak bisa dikalahkan
tulisan ini dimuat di harian Koran
Bali tanggal 1 Mei 2007
Entry by : LBH Bali 2/May/2007
Direktur YLBHI-LBH bali
“Kita tak ingin menjadi negara
yang menindas hak hidup buruh,
anak dan melukai martabat
manusia.Kita tak mau jadi
negara yang hanya berpikir
untuk menaikan pendapatan,kita
mesti jadi negara yang
memprioritaskan kehidupan
rakyat”
(Hugo Chaves, Presiden
Venezuela)
Pengantar
Pemerintah boleh saja secara
terbuka mengatakan bahwa negara
ini mengalami kemajuan dalam
dunia investasi. dengan
disahkannya UU Penanaman Modal
Asing (UU PMA), yang konon
dampaknya akan mensejahterakan
rakyat. Apa ia ?
Justru klaim negara ini akan runtuh.
bila kita periksa UU PMA/Investasi,
yang justru hanya memberikan
kesempatan pada Pelaku pasar/
investor/pengusaha untuk
“berusaha” yang seluas-luasnya.
Kesempatan “berusaha” yang luas
ini tentunya mengancam budaya
lokal bila diterjemahkan salah oleh
pengusaha apa lagi belum terbentuk
peraturan pelaksanaannya.Ini Bukti
bahwa negara masih berpihak pada
pengusaha/pemodal dengan
memeberikan fasilitas-fasilitas
“kemewahan” yang kesekian kali
setelah sebelumnya disahkannya
tiga (3) paket UU Ketenagakerjaan/
Perburuhan (UU.No 21/2000 tentang
serikat buruh/serikat pekerja, UU.No
13/2003 ttg ketenagakerjaan, dan
UU.No. 2/2004 ttg PPHI).
Apa yang dirasakan sebagai
privelege pengusaha ini justru
bertolak belakang dengan apa yang
dirasakan oleh buruh/pekerja.
Dimana diterbitkannya regulasi-
regulasi ini telah menghilangkan
sebuah “kepastian” terhadap kaum
buruh/pekerja. Harusnya
pemerintah berhati-hati dengan
dalih dari pengusaha : “...bahwa
pengusaha itu menciptakan
lapangan kerja sehingga dapat
mempekerjakan buruh dan
mengurangi angka pengangguran”.
Dalih ini perlu disikapi sebagai alasan
pengusaha untuk mendapatkan
fasilitas dari pemerintah/negara,
justru harus diingat sudah
merupakan konsekuensi logis ketika
orang ingin mendapat keuntungan/
laba besar dengan membuat
sebuah usaha maka ia harus
mempekerjakan orang-orang atau
buruh. Untuk mendapatkan
keuntungannya maka pengeluaran
harus ditekan semaksimal mungkin
termasuk menekan buruh.
Bagaimana dengan kondisi buruh di
Bali?
Kondisi buruh Indonesia tahun 2007
ini sangat suramnya dan
memperihatinkan . Tingginya angka
pencari kerja, membumbungnya
angka pengangguran, maraknya
PHK, minimnya jaminan sosial
terhadap tenaga kerja baik pekerja
tetap maupun pekerja kontrak
merupakan beberapa fakta yang
telah mewarnai kehidupan buruh
tahun 2007
Kondisi ini dirasakan juga dalam
dunia perburuhan di Bali, banyak
faktor penyebab untuk itu Pertama,
belum meningkatnya angka
kunjungan wisatawan. Kedua, kalah
bersaingnya buruh/pekerja
domestik dengan buruh/pekerja
asingnya. Ketiga, belum
konsistennya negara menjalankan
tiga paket UU ketenagakerjaan
yaitu:UU.No 21/2000 tentang serikat
buruh/serikat pekerja, UU.No
13/2003 tentang ketenagakerjaan,
dan UU.No. 2/2004 tentang PPHI.
Keempat, belum solid-nya buruh/
pekerja dalam memperjuangkan
kepentingan bersama.
Kelima,semakin hegemoniknya
pasar (pelaku usaha/investor) dalam
mempengaruhi hidup bersama (UU
PMA).
Harus diakui bahwa industri
pariwisata masih menjadi tulang
punggung Bali. Hotel, restaurant,
travel, cargo, jasa, niaga, hiburan,
handycraft, garment serta niaga
menjadi simpul industri dan
menjadi pemasok tenaga kerja
terbesar. Sehingga buruh/pekerja di
sektor-sektor vital ini menjadi
korban paling pertama ketika terjadi
peristiwa bom Bali I dan II beberapa
tahun lalu. Hingga kini
pemulihannyapun masih
membutuhkan jangka waktu yang
panjang. Hal ini terjadi secara
menyeluruh dari Kabupaten
Jembrana, Buleleng, Gianyar,
Karangasem, Badung hingga
Kotamadya Denpasar.
Dampak penting dari keterpurukan
kesejahteraan buruh/pekerja telah
menyebabkan
Pertama, rendahnya upah
minimum propinsi/kota/kabupaten
yang tak memenuhi standar
kebutuhan hidup layak seperti yang
tertuang dalam Permenakertrans,
No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang
komponen dan pelaksanaan
tahapan pencapaian kebutuhan
hidup layak (KHL).
Kedua, berkurangnya hak-hak yang
diterima buruh/pekerja juga
jaminan atas pekerjaan akibat trend
perubahan status dari pekerja tetap
menjadi pekerja kontrak (out
sourching).
Ketiga,perpindahan kepemilikan
beberapa perusahaan di Bali yang
praktis akan meminimalisir buruh/
pekerja yang dipandang tak
profesional dan berkompeten.
Keempat,menguatnya arus gejala
kriminalisasi buruh/pekerja, dimana
masalah buruh/pekerja dalam
perusahan di larikan ke hukum
pidana meniadakan paket UU
tentang perburuhan.
Data dinas tenaga kerja Propinsi Bali
tahun 2004; menyebutkan jumlah
pengangguran di Bali, mencapai
89.890 orang. Di bulan November
tahun 2005 tingkat rata-rata pencari
kerja sebanyak 29.555 orang,
sementara lowongan kerja yang
tersedia hanya 250 buah. Bisa
dikatakan akibat tingginya biaya
hidup jumlah pencari pekerja
meningkat tajam. Tetapi ironinya tak
diimbangi oleh jumlah lowongan
pekerjaan yang tersedia. Di bulan
Agustus 2006 terdapat 208.567
orang buruh/pekerja yang
tertampung di 5.083 buah
perusahan (kecil, menengah dan
besar). Selain itu jumlah PHK atau
“terpaksa” melakukan PHK secara
massal signifikant ! Seperti yang
menimpa 214 buruh/pekerja Hotel
Bali Cliff, 26 buruh/pekerja Hotel
Oval Legian, 36 buruh/pekerja Hotel
Bali Sani dan 50 buruh/pekerja Villa
Rumah Manis. Belum terhitung
yang di PHK secara personal.
Pelanggaran Hak Buruh adalah
Pelanggaran HAM
Pemerintah RI selalu mengatakan
bahwa negara ini telah mengalami
kemajuan dalam upaya penegakkan
HAM. Konon, hal ini dibuktikan
dengan diratifikasinya kovenan hak
sipil-politik (sipol) dan kovenan hak
ekonomi, sosial, budaya (ecosob)
pada tahun 2004. Dua (2) kovenan
ini resmi diakui dalam khasanah
hukum positif RI. Dua kovenan ini
juga merupakan kovenan yang
paling diakui ke-“universalan”-nya di
kancah pergaulan negara-negara
dunia. Namun, bagaimana dengan
prakteknya
Dalam kovenan Hak Ekonomi Sosial
Budaya diatur dengan tegas
Mengenai hak-hak buruh dalam
pasal 6 sampai dengan pasal 9
Kovenan Hak Ekonomi Sosial
Budaya yang intinya menyatakan
bahwa :
1. Pasal 6 tentang bahwa negara
menjamin hak setiap orang untuk
mencari nafkah dengan bebas
berdasarkan keinginannya.
2. Pasal 7 tentang syarat-syarat
perburuhan yang adil dan
menguntungkan.
3. Pasal 8 mengatur tentang bahwa
negara wajib mengakui hak-hak
setiap orang untuk membentuk dan
menjadi anggota serikat pekerja.
4. Dan pasal 9 bahwa negara
mengatur tentang keharusan
mengakui hak jaminan sosial pada
setiap orang.
Dengan demikian sangat jelas
bahwa negara wajib melindungi,
menghormati dan melakukan
pemenuhan terhadap hak-hak setiap
orang dalam masalah perburuhan.
Pelanggaran HAM justru terjadi
ketika negara mengabaikan
kewajibannya terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Sejauh ini belum
terlihat negara berpihak kepada
kepentingan kaum buruh, tiga paket
UU perburuhan yakni UU No.21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja,
UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagkerjaan dan UU No 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. 3
paket UU tenaga kerja ini justru lahir
dari kesepakatan pemerintah RI
dengan IMF
Pada tanggal 15 Januari 1998, IMF
(International Monetery Fund)
mendesak pemerintah RI untuk
menandatangani Nota
Kesepahaman (Letter of Intent)
tentang kebijakan sektor
perburuhan. Sehingga, tak bisa
dipungkiri 3 paket UU tersebut
merupakan kesepakatan RI dengan
kapitalisme global. Usulan IMF
adalah penataan ulang sistem,
prosedur, privatisasi
ketenagakerjaan dan penyediaan
lahan baru untuk industrialisasi.
Rekomendasi
Untuk mewujudkan kesejahteraan
buruh/pekerja maka hal yang mesti
dilakukan yaitu
Pertama, melakukan kerja-kerja
penguatan pengetahuan dan
ketrampilan dari buruh/pekerja dan
atau pengurus buruh/pekerja
tentang mekanisme yang diatur
dalam 3 paket UU
Ketenagakerjaan.Dimana juga
memberikan ruang bagi semua
pihak (LSM,Mahasiswa,Petani Dsb-
nya) untuk intens melakukan
pemantauan dan pengawasan
terhadap tata kelola dari politik
ketenagakerjaan/perburuhan.
Kedua, melakukan kontrol
demokrasi terhadap pelaku pasar
(investor,dll).Sebab salah satu akar
dari permasalahan utama dari
Republik ini adalah tak dikenanya
kontrol demokrasi yang ketat dalam
semangat HAM terhadap pelaku
pasar. Pelaku pasar selalu saja ber-
alibi bahwa urusan mereka adalah
urusan privat, namun ironinya
urusan yang mereka katakan
sebagai privat telah berdampak
urusan hidup bersama.
Ketiga, salah satu peran strategis
pemerintah adalah menjamin hak-
hak dasar buruh dan menjamin
kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun yang diatur dalam
undang-undang dan peraturan
yang lain yang sah. Sehingga
pemerintah diminta untuk konsisten
menerapkan Permenakertrans,
No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang
Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) sebagai
pengganti Kepmen yang lama baru
di tetapkan tanggal 26 Agustus
2005.Meski masih mengandung
banyak kelemahan namun Kepmen
yang baru ini lebih detail
mengklasifikasikan kebutuhan hidup
buruh/pekerja.
Keempat, Pemerintah harus berani
melakukan perubahan paradigma
politik pengupahan dengan cara:
1) melalui perundingan bersama di
tingkat perusahan. Pendekatan ini
sebaiknya diberlakukan untuk
buruh/pekerja yang sudah menjadi
anggota serikat buruh tingkat
perusahan. Juga diberlakukan bagi
kelompok-kelompok usaha yang
beroperasi di tingkat daerah
maupun di tingkat nasional (seperti
industri perbankan nasional,
kelompok-kelompok usaha yang
berada di bawah naungan satu atap,
dan lain-lain). Hal ini melalui
mekanisme perundingan bipartit
secara langsung antara serikat
buruh di perusahan dengan
pengusaha untuk menentukan
tingkat upah.
2) penetapan upah minimum
berfungsi sebagai jaring pengaman
sosial (upah terendah untuk
bertahan hidup) untuk melindungi
buruh yang upahnya paling rendah,
bukan untuk menggantikan
negosiasi upah antara serikat
pekerja/buruh dan pengusaha. Hal
ini dilakukan melalui dewan
pengupahan nasional. Dimana
sebaiknya diberlakukan bagi buruh
yang belum menjadi anggota
serikat buruh/pekerja. Juga bagi
buruh yang bekerja di sektor
informal dimana buruh yang
bekerja sebagai buruh paruh waktu
(part-timers), pembantu rumah
tangga, atau yang diperkerjakan di
suatu perusahan yang
mempekerjakan karyawan kurang
dari 10 orang atau yang bekerja
dengan perusahan yang tidak
termasuk dalam sektor in-formal.
Epilog
Kiranya ini yang bisa kami sajikan
sebagai sebuah renungan dalam
memperingati hari buruh tahun
2007 ini, hak tidak di beri tapi harus
direbut
Selamat hari buruh, Buruh bersatu
tak bisa dikalahkan
tulisan ini dimuat di harian Koran
Bali tanggal 1 Mei 2007
Entry by : LBH Bali 2/May/2007
Rabu, 23 Juni 2010
PERLINDUNGAN TERHADAP TINDAKAN PHK SEPIHAK
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bekerja bagi seseorang
merupakan perwujudan dari
keberadaannya maupun merupakan
nilai pribadi dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga bekerja
merupakan hak bagi setiap warga
negara tanpa perkecualian atau
diskriminasi untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Hal ini pula
ditegaskan dalam pasal 27 ayat 2
UUD 1945 yang menyebuttkan
bahwa tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan
penghidupan bagi kemanusiaan. Hal
ini berarti menjadi tugas kita
bersama untuk mengusahakan agar
setiap orang yang mau dan mampu
bekerja dapat mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan yang
diinginkannya dan setiap orang
yang bekerja dapat memperoleh
penghasilan yang cukup untuk
hidup layak, bagi tenaga kerjanya
sendiri maupun keluarganya.
Tugas ini kiranya tidak
mudah, karena jumlah penduduk
indonesia yang semakin besar, daya
serap ekonomi yang terbatas,
tingkat pendidikan dan produktifitas
yang rendah serta penyebaran
penduduk dan angkatan kerja yang
tidak merata. Oleh karenanya
mencari pekerjaan merupakan hal
yang dapat dikatakan sulit bagi
sebagian orang yang berpendidikan
biasa-biasa saja atau lulusan SMU,
sehingga apabila ia sudah bekerja di
suatu perusahaan lalu terkena
Pemutusan Hubungan Kerja tentu
akan menambah masalah
pengangguran di Negeri ini.
Permasalahan tersebut yang akan
coba dibahas dalam kaitan perlunya
perlindungan bagi tenaga kerja
apabila terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak dari
pihak perusahaan, selain itu
pemutusan hubungan kerja dalam
sisi Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997.
II. PEMBAHASAN
Seperti telah kita ketahui
bahwa kasus Pemutusan Hubungan
Kerja yang melibatkan pihak
pengusaha dengan pihak tenaga
kerja banyak terjadi di berbagai
perusahaan. Apabila Pemutusan
Hubungan Kerja sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku maka
hal itu bukan merupakan suatu
masalah, misalnya saja pada awal
krisis moneter terjadi perampingan
tenaga kerja pada perusahaan
sehingga banyak tenaga kerja yang
terkena Pemutusan Hubungan
Kerja, hal ini dimaksudkan agar
pengeluaran perusahaan tidak terlalu
besar karena harga kebutuhan
mengalami kenaikan akibat krisis
moneter itu.
Yang menjadi masalah
adalah apabila terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak oleh
perusahaan terhadap tenaga
kerjanya. Tentu tindakan ini
merupakan tindakan yang semena-
mena dan sangat merugikan pihak
tenaga kerja karena dengan adanya
pemutusan tersebut mereka akan
kehilangan pekerjaannya. Ditambah
lagi apabila Pemutusan Hubungan
Kerja tersebut tidak mempunyai
alasan yang kuat atau alasan
pembenaran Pemutusan Hubungan
Kerja.
Sebelum melangkah lebih
jauh dalam membicarakan
perlindungan tenaga kerja apabila
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
secara sepihak, maka perlu diketahui
terlebih dahulu pengertian dari
Pemutusan Hubungan Kerja itu
sendiri. Menurut Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1007 pasal 1 angka
19 Pemutusan Hubungan Kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban pekerja dan pengusaha.
Berdasarkan pengertian
tersebut semakin jelas bahwa pihak
tenaga kerja tidak mempunyai hak
dan kewajiban terhadap pengusaha,
begitupun sebaliknya. Sebenarnya
Pemutusan Hubungan Kerja tidak
dapat dilakukan pihak perusahaan
tanpa disertai adanya alasan-alasan
pembenaran mengenai pemutusan
hubungan kerja. Adapun alasan-
alasan pembenaran tersebut adalah:
· Alasan-alasan yang berhubungan atau
yang melekat pada pribadi buruh.
Misalnya tidak cakap dan tidak
mampu secara badaniyah maupun
rohaniah, tidak ada keahlian, tidak
mampu menerima latihan yang
diperlukan bagi pekerjaannya dan
sakit tertentu.
· Alasan-alasan yang berhubungan
dengan tingkah laku buruh. Misalnya
tidak memenuhi kewajibannya, tidak
dapat dipercaya, melanggar disiplin,
dan sebagainya.
· Alasan-alasan yang berkenaan dengan
jalannya perusahaan, artinya demi
kelangsungan jalannya perusahaan.
Misalnya tidak adanya pesanan atau
bahan baku, menurunnya hasil
produksi.
Berdasarkan alasan
pembenaran Pemutusan Hubungan
Kerja diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa ada tidaknya
pemutusan hubungan kerja
tergantung pada sisi tenaga kerja
atau pekerja itu sendiri ditambah
dengan alasan yang bersifat “
memaksa” yang berhubungan
dengan kelangsungan hidup
perusahaan . Misalnya mengenai
penyelamatan perusahaan yaitu
usaha peningkatan efisiensi dari
penghematan antara lain dengan:
· Mengurangi shift
· Membatasi / menghapuskan kerja
lembur
· Mengurangi jam kerja
· Peningkatan usaha-usaha, peningkatan
efisiensi dan penghematan lainnya
seperti mempercepat pensiun dan
sebagainya.
· Meliburkan karyawan secara bergilir atau
merumahkan karyawan untuk
sementara waktu
Apabila ada perusahaan
yang memberhentikan tenaga
kerjanya dengan alasan rasa tidak
senang, terutama lebih difokuskan
pada masalah pribadi antara atasan
dengan bawahan maka hal itu tidak
dapat dibenarkan baik itu oleh
aturan-aturan yang berlaku pada
perusahaan maupun Undang-
Undang. Namun biasanya
kenyataan yang ada masih banyak
tenaga kerja yang diperlakukan
semena-mena dengan diputus
hubungan kerjanya secara sepihak,
memang dalam surat Pemutusan
Hubungan Kerja ditulis atau
dikatakan mereka/ tenaga kerja
melakukan tindakan indisipliner
seperti tidak sopan terhadap tamu,
suka melawan atasan dan lain-lain
padahal mereka saama sekali tidak
merasa demikian hal itu terbukti
dengan tidak adanya surat teguran
yang dialamatkan pada pekerja yang
akan di-PHK. Mungkin ini salah satu
contoh kasus pemutusan hubungan
kerja yang dilakukan oleh
pengusaha terhadap tenaga
kerjanya yang dapat digolongkan
dalam pemberhentian tidak layak
karena alasan pemberhentiannya
terkesan dicari-cari atau alasan yang
palsu.
Sebenarnya masih
banyak kasus-kasus yang terjadi
mengenai pemberhentian secara
sepihak ini. Maka dari itu diperlukan
ketentuan-ketentuan tentang
pemberhentian tenaga kerja agar
tidak hanya terbatas pada
meringankan penderitaan tenaga
kerja yang telah atau akan
diberhentikan, tetapi juga
membatasi atau mengekang
kebebasan majikan untuk
melakukan pemberhentian.
Sehingga ditetapkan suatu asas
bahwa “setiap pemberhentian harus
berdasarkan alasan yang
membenarkan pemberhentian itu
atau dengan kata lain seorang
tenaga kerja yang diberhentikan
berhak untuk menentang
pemberhentiannya atas dasar
bahwa pemberhentiannya itu tidak
beralasan, yaitu melalui cara
pengaduan ”.
Mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1997 bahwa sebenarnya antara
pengusaha, pekerja/ tenaga kerja,
dan atau serikat pekerja harus
melakukan upaya untuk
menghindari terjadinya pemutusan
hubungan kerja. Berarti dalam
ketentuan Undang-Undang ini hak
tenaga kerja ini sangat dijamin
karena dikhawatirkan apabila terjadi
pemecatan atau pemberhentian
akan menambah masalah sosial
seperti jumlah pengangguran yang
akan meningkat. Mengenai hal ini
ditegaskan dalam pasal 85 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1997
yang berbunyi:
“Pengusaha, pekerja, dan atau
serikat pekerja harus melakukan
upaya untuk menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja ”.
Selain upaya untuk
mencegah terjadinya pemutusan
hubungan kerja dalam Undang-
Undang ini dikatakan pada pasal 86
bahwa pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerjanya dalam hal:
a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena
sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12
(dua belas) bulan secara terus-
menerus.
b. Pekerja berhalangan menjalankan
pekerjaan karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pekerja menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya.
d. Pekerja menikah, hamil,
melahirkan, atau gugur kandungan.
e. Pekerja mempunyai pertalian darah dan
atau ikatan perkawinan dengan
pekerja lainnya di dalam suatu
perusahaan, kecuali telah diatur
dalam kesepakatan kerja bersama
atau peraturan perusahaan.
f. Pekerja mendirikan, menjadi
anggota, dan atau menjadi
pengurus serikat pekerja.
Apabila setelah diadakan
segala upaya agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja maka
pengusaha harus
memusyawarahkan maksudnya
untuk memutuskan hubungan kerja
dengan serikat pekerja atau dengan
pekerja yang bersangkutan dalam
hal pekerja tidak menjadi anggota
serikat pekerja.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasar uraian diatas
maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa:
1. Masalah yang terpenting dalam
masalah ketenaga kerjaan adalah
soal pemutusan hubungan kerja.
Berakhirnya hubungan kerja bagi
tenaga kerja berarti kehilangan mata
pencarian yang berarti pula
permulaan masa pengangguran
dengan segala akibatnya, sehingga
untuk menjamin kepastian dan
ketentraman hidup kaum tenaga
kerja seharusnya tidak ada
pemutusan hubungan kerja. Akan
tetapi dalam kenyataannya
membuktikan bahwa pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dicegah
seluruhnya.
2. Di Indonesia masih banyak terjadi
pemutusan hubungan kerja secara
sepihak oleh para pengusaha dan
yang lebih memprihatinkan adalah
terkadang alasan pemberhentian
terkesan dibuat-buat dan tanpa
adanya alasan pembenaran
mengenai pemutusan hubungan
kerja. Disinilah perlunya ditetapkan
suatu asas bahwa setiap
pemberhentian harus berdasarkan
alasan pembenaran pemberhentian
itu atau dengan kata lain seorang
tenaga kerja yang diberhentikan
berhak untuk menentang
pemberhentiannya atas dasar
bahwa pemberhentiannya itu tidak
beralasan.
3. Didalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 mengenai pemutusan
hubungan kerja terdapat tata
caranya yaitu mulai dari upaya
pencegahan agar tidak sampai
terjadi pemutusan hubungan kerja
dan apabila upaya tersebut
mengalami kebuntuan maka
pengusaha harus
memusyawarahkan maksudnya
baik itu lewat serikat pekerja
maupun lewat pekerja yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Sendjun H. Manulang, SH, Pokok-
Pokok Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia, Rhineka Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 1997, tentang
Ketenagakerjaan.
Aliliawati Muljono, SH, CN.
Latar Belakang
Bekerja bagi seseorang
merupakan perwujudan dari
keberadaannya maupun merupakan
nilai pribadi dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga bekerja
merupakan hak bagi setiap warga
negara tanpa perkecualian atau
diskriminasi untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Hal ini pula
ditegaskan dalam pasal 27 ayat 2
UUD 1945 yang menyebuttkan
bahwa tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan
penghidupan bagi kemanusiaan. Hal
ini berarti menjadi tugas kita
bersama untuk mengusahakan agar
setiap orang yang mau dan mampu
bekerja dapat mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan yang
diinginkannya dan setiap orang
yang bekerja dapat memperoleh
penghasilan yang cukup untuk
hidup layak, bagi tenaga kerjanya
sendiri maupun keluarganya.
Tugas ini kiranya tidak
mudah, karena jumlah penduduk
indonesia yang semakin besar, daya
serap ekonomi yang terbatas,
tingkat pendidikan dan produktifitas
yang rendah serta penyebaran
penduduk dan angkatan kerja yang
tidak merata. Oleh karenanya
mencari pekerjaan merupakan hal
yang dapat dikatakan sulit bagi
sebagian orang yang berpendidikan
biasa-biasa saja atau lulusan SMU,
sehingga apabila ia sudah bekerja di
suatu perusahaan lalu terkena
Pemutusan Hubungan Kerja tentu
akan menambah masalah
pengangguran di Negeri ini.
Permasalahan tersebut yang akan
coba dibahas dalam kaitan perlunya
perlindungan bagi tenaga kerja
apabila terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak dari
pihak perusahaan, selain itu
pemutusan hubungan kerja dalam
sisi Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997.
II. PEMBAHASAN
Seperti telah kita ketahui
bahwa kasus Pemutusan Hubungan
Kerja yang melibatkan pihak
pengusaha dengan pihak tenaga
kerja banyak terjadi di berbagai
perusahaan. Apabila Pemutusan
Hubungan Kerja sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku maka
hal itu bukan merupakan suatu
masalah, misalnya saja pada awal
krisis moneter terjadi perampingan
tenaga kerja pada perusahaan
sehingga banyak tenaga kerja yang
terkena Pemutusan Hubungan
Kerja, hal ini dimaksudkan agar
pengeluaran perusahaan tidak terlalu
besar karena harga kebutuhan
mengalami kenaikan akibat krisis
moneter itu.
Yang menjadi masalah
adalah apabila terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak oleh
perusahaan terhadap tenaga
kerjanya. Tentu tindakan ini
merupakan tindakan yang semena-
mena dan sangat merugikan pihak
tenaga kerja karena dengan adanya
pemutusan tersebut mereka akan
kehilangan pekerjaannya. Ditambah
lagi apabila Pemutusan Hubungan
Kerja tersebut tidak mempunyai
alasan yang kuat atau alasan
pembenaran Pemutusan Hubungan
Kerja.
Sebelum melangkah lebih
jauh dalam membicarakan
perlindungan tenaga kerja apabila
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
secara sepihak, maka perlu diketahui
terlebih dahulu pengertian dari
Pemutusan Hubungan Kerja itu
sendiri. Menurut Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1007 pasal 1 angka
19 Pemutusan Hubungan Kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban pekerja dan pengusaha.
Berdasarkan pengertian
tersebut semakin jelas bahwa pihak
tenaga kerja tidak mempunyai hak
dan kewajiban terhadap pengusaha,
begitupun sebaliknya. Sebenarnya
Pemutusan Hubungan Kerja tidak
dapat dilakukan pihak perusahaan
tanpa disertai adanya alasan-alasan
pembenaran mengenai pemutusan
hubungan kerja. Adapun alasan-
alasan pembenaran tersebut adalah:
· Alasan-alasan yang berhubungan atau
yang melekat pada pribadi buruh.
Misalnya tidak cakap dan tidak
mampu secara badaniyah maupun
rohaniah, tidak ada keahlian, tidak
mampu menerima latihan yang
diperlukan bagi pekerjaannya dan
sakit tertentu.
· Alasan-alasan yang berhubungan
dengan tingkah laku buruh. Misalnya
tidak memenuhi kewajibannya, tidak
dapat dipercaya, melanggar disiplin,
dan sebagainya.
· Alasan-alasan yang berkenaan dengan
jalannya perusahaan, artinya demi
kelangsungan jalannya perusahaan.
Misalnya tidak adanya pesanan atau
bahan baku, menurunnya hasil
produksi.
Berdasarkan alasan
pembenaran Pemutusan Hubungan
Kerja diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa ada tidaknya
pemutusan hubungan kerja
tergantung pada sisi tenaga kerja
atau pekerja itu sendiri ditambah
dengan alasan yang bersifat “
memaksa” yang berhubungan
dengan kelangsungan hidup
perusahaan . Misalnya mengenai
penyelamatan perusahaan yaitu
usaha peningkatan efisiensi dari
penghematan antara lain dengan:
· Mengurangi shift
· Membatasi / menghapuskan kerja
lembur
· Mengurangi jam kerja
· Peningkatan usaha-usaha, peningkatan
efisiensi dan penghematan lainnya
seperti mempercepat pensiun dan
sebagainya.
· Meliburkan karyawan secara bergilir atau
merumahkan karyawan untuk
sementara waktu
Apabila ada perusahaan
yang memberhentikan tenaga
kerjanya dengan alasan rasa tidak
senang, terutama lebih difokuskan
pada masalah pribadi antara atasan
dengan bawahan maka hal itu tidak
dapat dibenarkan baik itu oleh
aturan-aturan yang berlaku pada
perusahaan maupun Undang-
Undang. Namun biasanya
kenyataan yang ada masih banyak
tenaga kerja yang diperlakukan
semena-mena dengan diputus
hubungan kerjanya secara sepihak,
memang dalam surat Pemutusan
Hubungan Kerja ditulis atau
dikatakan mereka/ tenaga kerja
melakukan tindakan indisipliner
seperti tidak sopan terhadap tamu,
suka melawan atasan dan lain-lain
padahal mereka saama sekali tidak
merasa demikian hal itu terbukti
dengan tidak adanya surat teguran
yang dialamatkan pada pekerja yang
akan di-PHK. Mungkin ini salah satu
contoh kasus pemutusan hubungan
kerja yang dilakukan oleh
pengusaha terhadap tenaga
kerjanya yang dapat digolongkan
dalam pemberhentian tidak layak
karena alasan pemberhentiannya
terkesan dicari-cari atau alasan yang
palsu.
Sebenarnya masih
banyak kasus-kasus yang terjadi
mengenai pemberhentian secara
sepihak ini. Maka dari itu diperlukan
ketentuan-ketentuan tentang
pemberhentian tenaga kerja agar
tidak hanya terbatas pada
meringankan penderitaan tenaga
kerja yang telah atau akan
diberhentikan, tetapi juga
membatasi atau mengekang
kebebasan majikan untuk
melakukan pemberhentian.
Sehingga ditetapkan suatu asas
bahwa “setiap pemberhentian harus
berdasarkan alasan yang
membenarkan pemberhentian itu
atau dengan kata lain seorang
tenaga kerja yang diberhentikan
berhak untuk menentang
pemberhentiannya atas dasar
bahwa pemberhentiannya itu tidak
beralasan, yaitu melalui cara
pengaduan ”.
Mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1997 bahwa sebenarnya antara
pengusaha, pekerja/ tenaga kerja,
dan atau serikat pekerja harus
melakukan upaya untuk
menghindari terjadinya pemutusan
hubungan kerja. Berarti dalam
ketentuan Undang-Undang ini hak
tenaga kerja ini sangat dijamin
karena dikhawatirkan apabila terjadi
pemecatan atau pemberhentian
akan menambah masalah sosial
seperti jumlah pengangguran yang
akan meningkat. Mengenai hal ini
ditegaskan dalam pasal 85 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1997
yang berbunyi:
“Pengusaha, pekerja, dan atau
serikat pekerja harus melakukan
upaya untuk menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja ”.
Selain upaya untuk
mencegah terjadinya pemutusan
hubungan kerja dalam Undang-
Undang ini dikatakan pada pasal 86
bahwa pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerjanya dalam hal:
a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena
sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12
(dua belas) bulan secara terus-
menerus.
b. Pekerja berhalangan menjalankan
pekerjaan karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pekerja menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya.
d. Pekerja menikah, hamil,
melahirkan, atau gugur kandungan.
e. Pekerja mempunyai pertalian darah dan
atau ikatan perkawinan dengan
pekerja lainnya di dalam suatu
perusahaan, kecuali telah diatur
dalam kesepakatan kerja bersama
atau peraturan perusahaan.
f. Pekerja mendirikan, menjadi
anggota, dan atau menjadi
pengurus serikat pekerja.
Apabila setelah diadakan
segala upaya agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja maka
pengusaha harus
memusyawarahkan maksudnya
untuk memutuskan hubungan kerja
dengan serikat pekerja atau dengan
pekerja yang bersangkutan dalam
hal pekerja tidak menjadi anggota
serikat pekerja.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasar uraian diatas
maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa:
1. Masalah yang terpenting dalam
masalah ketenaga kerjaan adalah
soal pemutusan hubungan kerja.
Berakhirnya hubungan kerja bagi
tenaga kerja berarti kehilangan mata
pencarian yang berarti pula
permulaan masa pengangguran
dengan segala akibatnya, sehingga
untuk menjamin kepastian dan
ketentraman hidup kaum tenaga
kerja seharusnya tidak ada
pemutusan hubungan kerja. Akan
tetapi dalam kenyataannya
membuktikan bahwa pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dicegah
seluruhnya.
2. Di Indonesia masih banyak terjadi
pemutusan hubungan kerja secara
sepihak oleh para pengusaha dan
yang lebih memprihatinkan adalah
terkadang alasan pemberhentian
terkesan dibuat-buat dan tanpa
adanya alasan pembenaran
mengenai pemutusan hubungan
kerja. Disinilah perlunya ditetapkan
suatu asas bahwa setiap
pemberhentian harus berdasarkan
alasan pembenaran pemberhentian
itu atau dengan kata lain seorang
tenaga kerja yang diberhentikan
berhak untuk menentang
pemberhentiannya atas dasar
bahwa pemberhentiannya itu tidak
beralasan.
3. Didalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 mengenai pemutusan
hubungan kerja terdapat tata
caranya yaitu mulai dari upaya
pencegahan agar tidak sampai
terjadi pemutusan hubungan kerja
dan apabila upaya tersebut
mengalami kebuntuan maka
pengusaha harus
memusyawarahkan maksudnya
baik itu lewat serikat pekerja
maupun lewat pekerja yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Sendjun H. Manulang, SH, Pokok-
Pokok Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia, Rhineka Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 1997, tentang
Ketenagakerjaan.
Aliliawati Muljono, SH, CN.
Jumat, 18 Juni 2010
Bab VI Ketentuan Penutup
Pasal 32
Dengan ditetapkannya Peraturan
Menteri ini, maka Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No.Per.04/Men/1986
tentang Tata Cara Pemutusan
Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon, Uang Jasa dan
Ganti Kerugian dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 33
Peraturan Menteri ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 februari 1996
MENTERI TENAGA KERJA R.I.
DRS.ABDUL LATIEF
Dengan ditetapkannya Peraturan
Menteri ini, maka Peraturan Menteri
Tenaga Kerja No.Per.04/Men/1986
tentang Tata Cara Pemutusan
Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon, Uang Jasa dan
Ganti Kerugian dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 33
Peraturan Menteri ini mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 14 februari 1996
MENTERI TENAGA KERJA R.I.
DRS.ABDUL LATIEF
BAB VKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 31
(1) Setiap putusan Panitia Daerah
yang telah mendasarkan
putusannya kepada ketentuan dalam
Peraturan Menteri tenaga Kerja No.
Per.04/Men/1986 kemudian
dimintakan banding setelah
dikeluarkannya Peraturan Menteri ini,
maka Panitia Pusat dalam
menyelesaikan perkara banding
tersebut tetap mendasarkan
putusannya kepada Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No.Per.04/
Men/1986.
(2) Setiap putusan Panitia Pusat yang
telah mendasarkan putusannya
kepada ketentuan dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No.Per.04/
Men/1986 kemudian oleh Menteri
Tenaga Kerja diadakan peninjauan
kembali atau penundaaan
pelaksanaan putusan maka dalam
mengatur akibat dari pembatalan
atau penundaan pelaksanaan
putusan dalam mengatur akibat dari
pembatalan atau penundaan
pelaksanaan putusan tersebut,
Menteri Tenaga Kerja tetap
mendasarkan keputusannya kepada
Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No.Per.04/Men/1986.
(1) Setiap putusan Panitia Daerah
yang telah mendasarkan
putusannya kepada ketentuan dalam
Peraturan Menteri tenaga Kerja No.
Per.04/Men/1986 kemudian
dimintakan banding setelah
dikeluarkannya Peraturan Menteri ini,
maka Panitia Pusat dalam
menyelesaikan perkara banding
tersebut tetap mendasarkan
putusannya kepada Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No.Per.04/
Men/1986.
(2) Setiap putusan Panitia Pusat yang
telah mendasarkan putusannya
kepada ketentuan dalam Peraturan
Menteri Tenaga Kerja No.Per.04/
Men/1986 kemudian oleh Menteri
Tenaga Kerja diadakan peninjauan
kembali atau penundaaan
pelaksanaan putusan maka dalam
mengatur akibat dari pembatalan
atau penundaan pelaksanaan
putusan dalam mengatur akibat dari
pembatalan atau penundaan
pelaksanaan putusan tersebut,
Menteri Tenaga Kerja tetap
mendasarkan keputusannya kepada
Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No.Per.04/Men/1986.
Bab IV Penetapan Uang Pesangon,Uang Jasa dan Ganti Kerugian
Pasal 20
Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia
Pusat memberikan ijin pemutusan
hubungan kerja maka dapat
ditetapkan pula kewajiban
pengusaha untuk memberikan
kepada pekerja yang bersangkutan
uang pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian.
Pasal 21
Besar uang pesangon sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 ditetapkan
sekurang-kurangnya sebagai
berikut :
a. Masa kerja kurang dari 1
tahun................................................
1 bulan upah
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 2 tahun.............2
bulan upah
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 3 tahun ............3
bulan upah
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 4 tahun ............4
bulan upah
e. Masa kerja 4 tahun atau
lebih ................................................
..5 bulan upah
Pasal 22
Besarnya uang jasa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 ditetapkan
sebagai berikut :
a. Masa kerja 5 tahun atau lebih
kurang dari 10 tahun....................2
bulan upah
b. Masa kerja 10 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 15 tahun..........3
bulan upah
c. Masa kerja 15 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 20 tahun .........4
bulan upah
d. Masa kerja 20 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 25 tahun..........5
bulan upah
e. Masa kerja 25 tahun atau
lebih.................................................
.6 bulan upah
Pasal 23
Ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 meliputi :
a. Ganti kerugian untuk isrtirahat
tahunan yang belum diambil dan
belum gugur meliputi perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 ayat (2) dan pasal 7 Peraturan
Pemerintah No. 21 tahun 1954
tentang Penetapan Peraturan No. 21
tahun 1954 tentang Penetapan
Peraturan Istirahat Buruh.
b. Ganti kerugian untuk istirahat
panjang bilamana di perusahaan
yang bersangkutan berlaku
peraturan istirahat panjang dan
pekerja belum mengambil istirahat
itu menurut perbandingan antara
masa kerja pekerja dengan masa
kerja yang ditentukan untuk dapat
mengambil istirahat panjang.
c.Biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja dan keluarganya ketempat
dimana pekerja diterima bekerja.
d. Penggantian fasilitas pengobatan
dan perawatan ditetapkan sebesar 5
% (lima per seratus) dari uang
pesangon dan uang jasa apabila
masa kerjanya memenuhi syarat
untuk mendapat uang jasa.
e. Penggantian fasilitas perumahan
yang diberikan pengusaha secara
cuma-cuma, besarnya ditetapkan 10
% (sepuluh per seratus) dari uang
pesangon dan uang jasa apabila
masa kerjanya memenuhi syarat
untuk mendapat jasa.
f. Hal-hal yang ditetapkan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Pasal 24
(1) Upah sebagai dasar pemberian
uang pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian terdiri dari :
a. Upah pokok ;
b. Segala macam tunjangan yang
bersifat tetap diberikan kepada
pekerja dan keluarganya;
c. Harga pemberian dari catu yang
diberikan kepada pekerja secara
cuma-cuma apabila catu harus
dibayar pekerja dengan subsidi
maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan
harga yang harus dibayar oleh
pekerja.
(2) Upah sebulan untuk pekerja yang
menerima upah harian sama
dengan 30 (tiga puluh) kali upah
sehari.
(3) Dalam hal pekerja diberikan upah
atas dasar perhitungan upah
borongan atau potongan besarnya
upah belum sama dengan
pendapatan rata-rata sebelum 3
(tiga) bulan terakhir.
(4) Apabila pekerja tergantung dari
keadaan cuaca dan upahnya
didasarkan pada upah borongan,
maka perhitungan upah sebulan
dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.
(5) Bagi pekerja yang menerima
upah secara borongan maka segala
macam tunjangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b
yang diberikan oleh pengusaha
dihitung sebagai komponen upah
untuk dasar perhitungan pemberian
uang pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21, pasal 22, pasal 23.
Pasal 25
(1) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja perorangan bukan karena
kesalahan pekerja, maka uang
pesangon ditetapkan sebesar 2 (dua)
kali ketentuan pasal 21 kecuali atas
persetujuan kedua belah pihak
ditetapkan lain, uang jasa dan ganti
kerugian sesuai dengan ketentuan
pasal 22 dan pasal 23.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja massal karena perusahaan
tutup, besarnya uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian
ditetapkan berdasarkan ketentuan
pasal 21, pasal 22, san pasal 23.
(3) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja massal yang disebabkan
efisiensi perusahaan, uang
pesangon ditetapkan 2 (dua) kali
ketentuan pasal 21, uang jasa dan
ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan pasal 22 dan pasal 23
kecuali atas persetujuan kedua belah
pihak ditetapkan lain.
Pasal 26
(1) Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja karena perubahan
status, atau pemilik perusahaan atau
perusahaan pindah lokasi dengan
syarat-syarat kerja baru yang sama
dengan syarat-syarat kerja lama dan
pekerja tidak bersedia untuk
melanjutkan hubungan kerja maka
kepada pekerja diberikan uang
pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian sebasar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, pasal 22 dan pasal 23.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja karena perubahan status atau
pemilik perusahaan atau perusahaan
pindah lokasi dan pengusaha tidak
bersedia menerima pekerja di
perusahaannya dengan alasan
apapun maka kepada pekerja
diberikan uang pesangon sebasar 2
(dua) kali ketentuan pasal 22 dan
pasal 23.
(3) Kewajiban untuk membayar
uang pesangin, uang jasa dan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) dibebankan
kepada pengusaha baru kecuali
diperjanjikan lain antara pengusaha
lama dengan pengusaha baru.
Pasal 27
Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia
Pusat menolak permohonan ijin
pemutusan hubungan kerja atau
menyatakan hubungan kerja tidak
terputus, maka kepada pekerja
diberikan upah penuh beserta hak-
hak lain yang seharusnya diterima.
Pasal 28
(1) Apabila dalam permohonan ijin
pemutusan hubungan kerja kepada
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
terdapat tuntutan upah lembur,
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
dalam memberikan ijin harus
termasuk pula penyelesaian
mengenai upah lembur sesuai
perhitungan yang telah ditetapkan
oleh pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan Departemen
Tenaga Kerja setempat.
(2) Apabila jumlah tuntutan upah
lembur telah ada Kesepakatan
Bersama antara pekerja dengan
pengusaha dan diketahui oleh
Kantor Departemen Tenaga Kerja
atau dinas Tenaga Kerja setempat,
putusan Panitia Pusat sesuai dengan
Kesepakatan Bersama tersebut.
Pasal 29
(1) Dalam hal pekerja putus
hubungan kerjanya karena usia
pensiun sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (2) huruf c, dan
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama telah
diatur adanya jaminan atau
mamfaat pensiun maka pekerja
tidak mendapatkan uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, pasal 22, dan pasal 23, kecuali
diatur lain dalam Perjanjian kerja,
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama.
(2) Dalam hal Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama tidak
mengatur jaminan atau mamfaat
pensiun maka pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja yang
putus hubungan kerjanya uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan pasal 21 uang jasa dan
ganti kerugian sesuai pasal 22 dan
pasal 23.
Pasal 30
Pembayaran uang pesangon, uang
jasa dan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, pasal 22 dan pasal 23 dilakukan
secara tunai.
Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia
Pusat memberikan ijin pemutusan
hubungan kerja maka dapat
ditetapkan pula kewajiban
pengusaha untuk memberikan
kepada pekerja yang bersangkutan
uang pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian.
Pasal 21
Besar uang pesangon sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 ditetapkan
sekurang-kurangnya sebagai
berikut :
a. Masa kerja kurang dari 1
tahun................................................
1 bulan upah
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 2 tahun.............2
bulan upah
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 3 tahun ............3
bulan upah
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 4 tahun ............4
bulan upah
e. Masa kerja 4 tahun atau
lebih ................................................
..5 bulan upah
Pasal 22
Besarnya uang jasa sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 ditetapkan
sebagai berikut :
a. Masa kerja 5 tahun atau lebih
kurang dari 10 tahun....................2
bulan upah
b. Masa kerja 10 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 15 tahun..........3
bulan upah
c. Masa kerja 15 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 20 tahun .........4
bulan upah
d. Masa kerja 20 tahun atau lebih
tetapi kurang dari 25 tahun..........5
bulan upah
e. Masa kerja 25 tahun atau
lebih.................................................
.6 bulan upah
Pasal 23
Ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam pasal 20 meliputi :
a. Ganti kerugian untuk isrtirahat
tahunan yang belum diambil dan
belum gugur meliputi perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 ayat (2) dan pasal 7 Peraturan
Pemerintah No. 21 tahun 1954
tentang Penetapan Peraturan No. 21
tahun 1954 tentang Penetapan
Peraturan Istirahat Buruh.
b. Ganti kerugian untuk istirahat
panjang bilamana di perusahaan
yang bersangkutan berlaku
peraturan istirahat panjang dan
pekerja belum mengambil istirahat
itu menurut perbandingan antara
masa kerja pekerja dengan masa
kerja yang ditentukan untuk dapat
mengambil istirahat panjang.
c.Biaya atau ongkos pulang untuk
pekerja dan keluarganya ketempat
dimana pekerja diterima bekerja.
d. Penggantian fasilitas pengobatan
dan perawatan ditetapkan sebesar 5
% (lima per seratus) dari uang
pesangon dan uang jasa apabila
masa kerjanya memenuhi syarat
untuk mendapat uang jasa.
e. Penggantian fasilitas perumahan
yang diberikan pengusaha secara
cuma-cuma, besarnya ditetapkan 10
% (sepuluh per seratus) dari uang
pesangon dan uang jasa apabila
masa kerjanya memenuhi syarat
untuk mendapat jasa.
f. Hal-hal yang ditetapkan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Pasal 24
(1) Upah sebagai dasar pemberian
uang pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian terdiri dari :
a. Upah pokok ;
b. Segala macam tunjangan yang
bersifat tetap diberikan kepada
pekerja dan keluarganya;
c. Harga pemberian dari catu yang
diberikan kepada pekerja secara
cuma-cuma apabila catu harus
dibayar pekerja dengan subsidi
maka sebagai upah dianggap selisih
antara harga pembelian dengan
harga yang harus dibayar oleh
pekerja.
(2) Upah sebulan untuk pekerja yang
menerima upah harian sama
dengan 30 (tiga puluh) kali upah
sehari.
(3) Dalam hal pekerja diberikan upah
atas dasar perhitungan upah
borongan atau potongan besarnya
upah belum sama dengan
pendapatan rata-rata sebelum 3
(tiga) bulan terakhir.
(4) Apabila pekerja tergantung dari
keadaan cuaca dan upahnya
didasarkan pada upah borongan,
maka perhitungan upah sebulan
dihitung dari upah rata-rata 12 (dua
belas) bulan terakhir.
(5) Bagi pekerja yang menerima
upah secara borongan maka segala
macam tunjangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b
yang diberikan oleh pengusaha
dihitung sebagai komponen upah
untuk dasar perhitungan pemberian
uang pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21, pasal 22, pasal 23.
Pasal 25
(1) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja perorangan bukan karena
kesalahan pekerja, maka uang
pesangon ditetapkan sebesar 2 (dua)
kali ketentuan pasal 21 kecuali atas
persetujuan kedua belah pihak
ditetapkan lain, uang jasa dan ganti
kerugian sesuai dengan ketentuan
pasal 22 dan pasal 23.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja massal karena perusahaan
tutup, besarnya uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian
ditetapkan berdasarkan ketentuan
pasal 21, pasal 22, san pasal 23.
(3) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja massal yang disebabkan
efisiensi perusahaan, uang
pesangon ditetapkan 2 (dua) kali
ketentuan pasal 21, uang jasa dan
ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan pasal 22 dan pasal 23
kecuali atas persetujuan kedua belah
pihak ditetapkan lain.
Pasal 26
(1) Dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja karena perubahan
status, atau pemilik perusahaan atau
perusahaan pindah lokasi dengan
syarat-syarat kerja baru yang sama
dengan syarat-syarat kerja lama dan
pekerja tidak bersedia untuk
melanjutkan hubungan kerja maka
kepada pekerja diberikan uang
pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian sebasar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, pasal 22 dan pasal 23.
(2) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja karena perubahan status atau
pemilik perusahaan atau perusahaan
pindah lokasi dan pengusaha tidak
bersedia menerima pekerja di
perusahaannya dengan alasan
apapun maka kepada pekerja
diberikan uang pesangon sebasar 2
(dua) kali ketentuan pasal 22 dan
pasal 23.
(3) Kewajiban untuk membayar
uang pesangin, uang jasa dan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) dibebankan
kepada pengusaha baru kecuali
diperjanjikan lain antara pengusaha
lama dengan pengusaha baru.
Pasal 27
Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia
Pusat menolak permohonan ijin
pemutusan hubungan kerja atau
menyatakan hubungan kerja tidak
terputus, maka kepada pekerja
diberikan upah penuh beserta hak-
hak lain yang seharusnya diterima.
Pasal 28
(1) Apabila dalam permohonan ijin
pemutusan hubungan kerja kepada
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
terdapat tuntutan upah lembur,
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
dalam memberikan ijin harus
termasuk pula penyelesaian
mengenai upah lembur sesuai
perhitungan yang telah ditetapkan
oleh pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan Departemen
Tenaga Kerja setempat.
(2) Apabila jumlah tuntutan upah
lembur telah ada Kesepakatan
Bersama antara pekerja dengan
pengusaha dan diketahui oleh
Kantor Departemen Tenaga Kerja
atau dinas Tenaga Kerja setempat,
putusan Panitia Pusat sesuai dengan
Kesepakatan Bersama tersebut.
Pasal 29
(1) Dalam hal pekerja putus
hubungan kerjanya karena usia
pensiun sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (2) huruf c, dan
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama telah
diatur adanya jaminan atau
mamfaat pensiun maka pekerja
tidak mendapatkan uang pesangon,
uang jasa dan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, pasal 22, dan pasal 23, kecuali
diatur lain dalam Perjanjian kerja,
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama.
(2) Dalam hal Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama tidak
mengatur jaminan atau mamfaat
pensiun maka pengusaha wajib
memberikan kepada pekerja yang
putus hubungan kerjanya uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali
ketentuan pasal 21 uang jasa dan
ganti kerugian sesuai pasal 22 dan
pasal 23.
Pasal 30
Pembayaran uang pesangon, uang
jasa dan ganti kerugian
sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, pasal 22 dan pasal 23 dilakukan
secara tunai.
Bab IIIPENYELESAIAN PEMUTUSANHUBUNGAN KERJA DI TINGKATPANITIA DAERAH DANPANITIA PUSAT
Pasal 14
(1) Setiap permohonan ijin
pemutusan hubungan kerja dibuat
di atas kertas bermeterai cukup
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Permohonan ijin Pemutusan
Hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memuat :
a. Nama dan tempat kedudukan
perusahaan/pemohon.
b. Nama orang yang bertanggung
jawab di perusahaan.
c. Nama, jabatan dan alamat pekerja
yang dimintakan pemutusan
hubungan kerja.
d. Umur dan jumlah keluarga dari
pekerja.
e. Masa kerja dan tanggal mulai
bekerja.
f. Tempat pekerja pertama kali
diterima bekerja.
g. Rincian penghasilan terakhir
berupa uang dan nilai catu yang
diberikan dengan cuma-cuma.
h. Upah terakhir yang diterima
pekerja.
i. Alasan pengusaha untuk
melakukan pemutusan hubungan
kerja secara terinci.
j. Bukti telah diadakan perundingan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 Undang-undang No. 12 tahun
1964.
k. Tanggal terhitung mulai
berlakunya pemutusan hubungan
kerja dimohonkan.
l. Tempat dan tanggal permohonan
ijin pemutusan hubungan kerja
diajukan.
m. Hal-hal yang dianggap perlu.
(3) Permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
menggunakan bentuk formulir
sebagaimana contoh dalam
alampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 15
(1) Dalam hal pekerja tidak masuk
bekerja dalam waktu sedikit-dikitnya
5 (lima) hari kerja berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis
dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha, pekerja
tersebut dianggap mengundurkan
diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti
yang sah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama
pekerja masuk bekerja.
(3) Dalam hal pengusaha akan
melakukan pemutusan hubungan
kerja berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pengusaha tetap wajib
mengajukan permohonan ijin
melalui departemen tenaga Kerja
setempat kepada Panitia Daerah
untuk pemutusan hubungan kerja
perorangan atau kepada Panitia
Pusat untuk pemutusan hubungan
kerja massal.
Pasal 16
(1) Sebelum ijin pemutusan
hubungan kerja diberikan oleh
Panitia daerah atau Panitia Pusat dan
apabila pengusaha melakukan
skorsing sesuai dengan ketentuan
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaam atau
Kesepakatan Kerja Bersama, maka
pengusaha wajib memberikan upah
serendah-rendahnya 50% (lima
puluh per seratus).
(2) Skorsing sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dilakukan
secara tertulis dan disampaikan
kepada pekerja yang bersangkutan.
(3) Pemberian upah selama skorsing
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) paling lama 6 (enam) bulan.
(4) Setelah masa skorsing berjalan 6
(enam) bulan tetapi belum ada
putusan Panitia Daerah atau Panitia
Pusat, pengusaha tidak diwajibkan
membayar upah.
Pasal 17
(1) Sebelum ijin pemutusan
hubungan kerja diberikan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
sedangkan pengusaha tidak
melakukan skorsing terhadap
pekerja maka pengusaha dan
pekerja harus tetap memenuhi
segala kewajibannya.
(2) Dalam hal Pekerja tidak dapat
memenuhi segala kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) karena dilarang oleh Pengusaha
dan pengusaha tidak melakukan
skorsing, maka pengusaha wajib
membayar upah selama dalam
proses sebesar 100% (seratus per
seratus).
(3) Dalam hal pekerja tidak
memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) atas kemauan pekerja sendiri,
maka pengusaha tidak wajib
memberikan upah selama dalam
proses.
(4) Dalam hal pengusaha dan
pekerja tidak dapat memenuhi
segala kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bukan
karena Pekerja dilarang bekerja oleh
Pengusaha atau bukan atas
kemauan pekerja sendiri, maka
pengusaha wajib membayar upah
selama dalam proses sebesar 50%
(lima puluh per seratus).
Pasal 18
(1) Ijin pemutusan hubungan kerja
dapat diberikan karena Pekerja
melakukan kesalahan berat sebagai
berikut :
a.Penipuan, pencurian dan
penggelapan barang/uang milik
pengusaha atau milik teman sekerja
atau milik teman pengusaha.
b. Memberikan keterangan palsu
atau yang dipalsukan sehingga
merugikan pengusaha atau
kepentingan negara.
c. Mabok, minum-minuman keras
yang memabokkan, madat,
memakai obat bius atau
menyalahgunakan obat-obatan
terlarang obat-obatan perangsang
lainnya di tempatnya di tempat kerja
yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan.
d. Melakukan perbuatan asusila atau
melakukan perjudian di tempat
kerja.
e. Melakukan tindak kejahatan
misalnya menyerang,
mengintimidasiatau menipu
pengusaha atau teman sekerja dan
memperdagangkan barang
terlarang, baik dalam lingkungan
perusahaan maupun di luar
lingkungan perusahaan.
f. Menganiaya, mengancam secara
physik atau mental, menghina
secara kasar pengusaha atau
keluarga pengusaha atau teman
sekerja.
g. Membujuk pengusaha atau
teman sekerja untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau
kesusilaan serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
h. Dengan ceroboh atau sengaja
merusak, merugikan atau
membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik pengusaha.
i. Dengan ceroboh atau sengaja
merusah atau membiarkan diri atau
teman sekerjanya dalam keadaan
bahaya.
j. Membongkar atau membocorkan
rahasia perusahaan atau
mencemarkan nama baik
pengusaha dan atau keluarga
pengusaha yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan Negara.
k. Melakukan kesalahan yang
bobotnya sama setelah mendapat
peringatan terakhir yang masih
berlaku.
l. Hal-hal lain yang diatur dalam
Perjanjian Kerja atau Peraturan
Perusahaan atau Kesepakatan Kerja
Bersama.
(2) Pengusaha dalam memutuskan
hubungan kerja pekerja dengan
alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus menyertakan
bukti yang ada dalam permohonan
ijin pemutusan hubungan kerja.
(3) Terhadap kesalahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan tindakan skorsing sebelum
ijin pemutusan hubungan kerja
diberikan Panitia Daerah atau Panitia
Pusat.
(4) Pekerja yang diputuskan
hubungan kerjanya karena
melakukan kesalahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhak atas uang pesangon tetapi
berhak atas uang jasa apabila masa
kerjanya telah memenuhi syarat
untuk mendapatkan uang jasa,dan
uang ganti kerugian.
(5) Pekerja yang melakukan
kesalahan di luar kesalahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat di putuskan hubungan
kerjanya dengan mendapat uang
pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian.
Pasal 19
(1) Pengusaha dapat mengajukan
permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja dengan alasan
pekerja ditahan oleh pihak yang
berwajib karena pengaduan
pengusaha maupun bukan.
(2) Dalam hal pekerja ditahan oleh
pihak yang berwajib bukan aas
pengaduan pengusaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1),
permohonan ijin dapat diajukan
setelah pekerja ditahan sedikit-
dikitnya selama 60 (emnam puluh)
hari takwim.
(3) Dalam hal pekerja ditahan oleh
pihak yang berwajib sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2),
pengusaha tidak wajib membayar
upah tetapi wajib memberikan
bantian kepada keluarga yang
menjadi tanggungannya dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 orang tanggungan : 25 %
dari upah
b. untuk 2 orang tanggungan : 35 %
dari upah
c. untuk 3 orang tanggungan : 45 %
dari upah
d. untuk 4 orang tanggungan : 50 %
dari upah
atau lebih
(4) Bantuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diberikan untuk paling
lama 6 (enam) bulan takwim
terhitung sejak hari pertama pekerja
ditahan yang berwajib.
(5) Dalam hal pekerja ditahan oleh
pihak yang berwajib karena
pengaduan pengusaha selama ijin
pemutusan hubungan kerja belum
diberikan Panitia Daerah atau Panitia
Pusat, maka pengusaha wajib untuk
membayar upah pekerja sekurang-
kurangnya 50 % (lima puluh per
seratus) dan berlaku paling lama 6
(enam) bulan takwim terhitung sejak
hari pertama pekerja ditahan pihak
yang berwajib.
(6) Dalam hal pekerja dibebaskan
dari tahanan karena pengaqduan
pengusaha dan ternyata tidak
terbukti melakukan kesalahan, maka
pengusaha wajib mempekerjakan
kembali pekerja dengan membayar
upah penuh beserta hak-hak lainnya
yang seharusnya diterima pekerja
terhitung sejak pekerja ditahan.
(1) Setiap permohonan ijin
pemutusan hubungan kerja dibuat
di atas kertas bermeterai cukup
sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Permohonan ijin Pemutusan
Hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) memuat :
a. Nama dan tempat kedudukan
perusahaan/pemohon.
b. Nama orang yang bertanggung
jawab di perusahaan.
c. Nama, jabatan dan alamat pekerja
yang dimintakan pemutusan
hubungan kerja.
d. Umur dan jumlah keluarga dari
pekerja.
e. Masa kerja dan tanggal mulai
bekerja.
f. Tempat pekerja pertama kali
diterima bekerja.
g. Rincian penghasilan terakhir
berupa uang dan nilai catu yang
diberikan dengan cuma-cuma.
h. Upah terakhir yang diterima
pekerja.
i. Alasan pengusaha untuk
melakukan pemutusan hubungan
kerja secara terinci.
j. Bukti telah diadakan perundingan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 Undang-undang No. 12 tahun
1964.
k. Tanggal terhitung mulai
berlakunya pemutusan hubungan
kerja dimohonkan.
l. Tempat dan tanggal permohonan
ijin pemutusan hubungan kerja
diajukan.
m. Hal-hal yang dianggap perlu.
(3) Permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2)
menggunakan bentuk formulir
sebagaimana contoh dalam
alampiran Peraturan Menteri ini.
Pasal 15
(1) Dalam hal pekerja tidak masuk
bekerja dalam waktu sedikit-dikitnya
5 (lima) hari kerja berturut-turut
tanpa keterangan secara tertulis
dengan bukti yang sah dan telah
dipanggil oleh pengusaha, pekerja
tersebut dianggap mengundurkan
diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti
yang sah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus diserahkan
paling lambat pada hari pertama
pekerja masuk bekerja.
(3) Dalam hal pengusaha akan
melakukan pemutusan hubungan
kerja berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pengusaha tetap wajib
mengajukan permohonan ijin
melalui departemen tenaga Kerja
setempat kepada Panitia Daerah
untuk pemutusan hubungan kerja
perorangan atau kepada Panitia
Pusat untuk pemutusan hubungan
kerja massal.
Pasal 16
(1) Sebelum ijin pemutusan
hubungan kerja diberikan oleh
Panitia daerah atau Panitia Pusat dan
apabila pengusaha melakukan
skorsing sesuai dengan ketentuan
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaam atau
Kesepakatan Kerja Bersama, maka
pengusaha wajib memberikan upah
serendah-rendahnya 50% (lima
puluh per seratus).
(2) Skorsing sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dilakukan
secara tertulis dan disampaikan
kepada pekerja yang bersangkutan.
(3) Pemberian upah selama skorsing
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) paling lama 6 (enam) bulan.
(4) Setelah masa skorsing berjalan 6
(enam) bulan tetapi belum ada
putusan Panitia Daerah atau Panitia
Pusat, pengusaha tidak diwajibkan
membayar upah.
Pasal 17
(1) Sebelum ijin pemutusan
hubungan kerja diberikan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
sedangkan pengusaha tidak
melakukan skorsing terhadap
pekerja maka pengusaha dan
pekerja harus tetap memenuhi
segala kewajibannya.
(2) Dalam hal Pekerja tidak dapat
memenuhi segala kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) karena dilarang oleh Pengusaha
dan pengusaha tidak melakukan
skorsing, maka pengusaha wajib
membayar upah selama dalam
proses sebesar 100% (seratus per
seratus).
(3) Dalam hal pekerja tidak
memenuhi kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) atas kemauan pekerja sendiri,
maka pengusaha tidak wajib
memberikan upah selama dalam
proses.
(4) Dalam hal pengusaha dan
pekerja tidak dapat memenuhi
segala kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) bukan
karena Pekerja dilarang bekerja oleh
Pengusaha atau bukan atas
kemauan pekerja sendiri, maka
pengusaha wajib membayar upah
selama dalam proses sebesar 50%
(lima puluh per seratus).
Pasal 18
(1) Ijin pemutusan hubungan kerja
dapat diberikan karena Pekerja
melakukan kesalahan berat sebagai
berikut :
a.Penipuan, pencurian dan
penggelapan barang/uang milik
pengusaha atau milik teman sekerja
atau milik teman pengusaha.
b. Memberikan keterangan palsu
atau yang dipalsukan sehingga
merugikan pengusaha atau
kepentingan negara.
c. Mabok, minum-minuman keras
yang memabokkan, madat,
memakai obat bius atau
menyalahgunakan obat-obatan
terlarang obat-obatan perangsang
lainnya di tempatnya di tempat kerja
yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan.
d. Melakukan perbuatan asusila atau
melakukan perjudian di tempat
kerja.
e. Melakukan tindak kejahatan
misalnya menyerang,
mengintimidasiatau menipu
pengusaha atau teman sekerja dan
memperdagangkan barang
terlarang, baik dalam lingkungan
perusahaan maupun di luar
lingkungan perusahaan.
f. Menganiaya, mengancam secara
physik atau mental, menghina
secara kasar pengusaha atau
keluarga pengusaha atau teman
sekerja.
g. Membujuk pengusaha atau
teman sekerja untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau
kesusilaan serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
h. Dengan ceroboh atau sengaja
merusak, merugikan atau
membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik pengusaha.
i. Dengan ceroboh atau sengaja
merusah atau membiarkan diri atau
teman sekerjanya dalam keadaan
bahaya.
j. Membongkar atau membocorkan
rahasia perusahaan atau
mencemarkan nama baik
pengusaha dan atau keluarga
pengusaha yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk
kepentingan Negara.
k. Melakukan kesalahan yang
bobotnya sama setelah mendapat
peringatan terakhir yang masih
berlaku.
l. Hal-hal lain yang diatur dalam
Perjanjian Kerja atau Peraturan
Perusahaan atau Kesepakatan Kerja
Bersama.
(2) Pengusaha dalam memutuskan
hubungan kerja pekerja dengan
alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus menyertakan
bukti yang ada dalam permohonan
ijin pemutusan hubungan kerja.
(3) Terhadap kesalahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilakukan tindakan skorsing sebelum
ijin pemutusan hubungan kerja
diberikan Panitia Daerah atau Panitia
Pusat.
(4) Pekerja yang diputuskan
hubungan kerjanya karena
melakukan kesalahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhak atas uang pesangon tetapi
berhak atas uang jasa apabila masa
kerjanya telah memenuhi syarat
untuk mendapatkan uang jasa,dan
uang ganti kerugian.
(5) Pekerja yang melakukan
kesalahan di luar kesalahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat di putuskan hubungan
kerjanya dengan mendapat uang
pesangon, uang jasa dan ganti
kerugian.
Pasal 19
(1) Pengusaha dapat mengajukan
permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja dengan alasan
pekerja ditahan oleh pihak yang
berwajib karena pengaduan
pengusaha maupun bukan.
(2) Dalam hal pekerja ditahan oleh
pihak yang berwajib bukan aas
pengaduan pengusaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1),
permohonan ijin dapat diajukan
setelah pekerja ditahan sedikit-
dikitnya selama 60 (emnam puluh)
hari takwim.
(3) Dalam hal pekerja ditahan oleh
pihak yang berwajib sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2),
pengusaha tidak wajib membayar
upah tetapi wajib memberikan
bantian kepada keluarga yang
menjadi tanggungannya dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 orang tanggungan : 25 %
dari upah
b. untuk 2 orang tanggungan : 35 %
dari upah
c. untuk 3 orang tanggungan : 45 %
dari upah
d. untuk 4 orang tanggungan : 50 %
dari upah
atau lebih
(4) Bantuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) diberikan untuk paling
lama 6 (enam) bulan takwim
terhitung sejak hari pertama pekerja
ditahan yang berwajib.
(5) Dalam hal pekerja ditahan oleh
pihak yang berwajib karena
pengaduan pengusaha selama ijin
pemutusan hubungan kerja belum
diberikan Panitia Daerah atau Panitia
Pusat, maka pengusaha wajib untuk
membayar upah pekerja sekurang-
kurangnya 50 % (lima puluh per
seratus) dan berlaku paling lama 6
(enam) bulan takwim terhitung sejak
hari pertama pekerja ditahan pihak
yang berwajib.
(6) Dalam hal pekerja dibebaskan
dari tahanan karena pengaqduan
pengusaha dan ternyata tidak
terbukti melakukan kesalahan, maka
pengusaha wajib mempekerjakan
kembali pekerja dengan membayar
upah penuh beserta hak-hak lainnya
yang seharusnya diterima pekerja
terhitung sejak pekerja ditahan.
BAB II PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TINGKAT PERUSAHAAN DAN TINGKAT PEMERANTARAAN
Pasal 6
Pengusaha dengan segala daya
upayanya harus mengusahakan
agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja dengan melakukan
pembinaan terhadap pekerja yang
bersangkutan atau dengan
memperbaiki kondisi perusahaan
dengan melakukan langkah-langkah
efisiensi untuk penyelamatan
perusahaan.
Pasal 7
(1) Pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 dapat
dilakukan oleh pengusaha dengan
cara memberikan peringatan kepada
pekerja baik lisan maupun tertulis
sebelum melakukan pemutusan
hubungan kerja .
(2) Surat peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat berupa surat peringatan
tertulis pertama, kedua dan ketiga,
kecuali dalam hal pekerja melakukan
kesalahan-kesalahan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 dan pasal
18 ayat (1).
(3) Masa berlaku masing-masing
surat peringatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) selama 6
(enam) bulan, kecuali ditentukan lain
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama
(4) Keabsahan surat peringatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasarkan pada ketentuan yang
berlaku dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama.
Pasal 8
(1) Penyimpangan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 ayat (2) pengusaha dapat
memberikan langsung surat
peringatan tingkat terakhir kepada
pekerja apabila :
a. Setelaj 3 (tiga) kali berturut-turut
pekerja tetap menolak untuk
mentaati perintah atau penugasan
yang layak sebagaimana tercantum
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama.
b. Dengan sengaja atau karena lalai
mengakibatkan dirinya dalam
keadaan tidak dapat melakukan
pekerjaan yang diberikan
kepadanya.
c. Tidak cakap melakukan pekerjaan
walaupun sudah dicoba dibidang
tugas yang ada.
d. Melanggar ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Perjanjian Kerja
atau Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama yang
dapat dikenakan peringatan terakhir.
Pasal 9
Setelah mendapatkan surat
peringatan terakhir pekerja masih
tetap melakukan pelanggaran lagi,
maka pengusaha dapat mengajukan
ijin pemutusan hubungan kerja
kepada Panitia Daerah untuk
pemutusan hubungan kerja
perorangan atau Panitia Pusat untuk
pemutusan hubungan kerja massal.
Pasal 10
(1) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dihindarkan maka
pengusaha dan pekerja itu sendiri
atau Serikat Pekerja yang terdaftar di
Departemen Tenaga Kerja apabila
pekerja tersebut menjadi
anggotanya, wajib
memusyawarahkan secara Bipartit
untuk mencapai kesepakatan
penyelesaian mengenai pemutusan
hubungan kerja tersebut.
(2) Serikat Pekerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam
merundingkan penyelesaian
pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja yang bukan
anggotanya harus mendapat kuasa
secara tertulis dari pekerja yang
bersangkutan.
(3) Setiap perundingan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali
dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari takwim dan setiap
perundingan dibuat risalah yang
ditandatangani para pihak.
(4) Risalah perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) memuat antara lain:
1. Nama dan alamat pekerja.
2. Nama dan alamat Serikat Pekerja
atau organisasi pekerja lainnya yang
terdaftar pada Departemen Tenaga
Kerja.
3. Nama dan alamat Pengurus atau
yang mewakili.
4. Tanggal dan tempat perundingan.
5. Pokok masalah atau alasan
pemutusan hubungan kerja.
6. Pendirian para pihak.
7. Kesimpulan perundingan.
8. Tanggal dan tanda tangan pihak-
pihak yang melakukan perundingan.
(5) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) mencapai kesepakatan
penyelesaian, maka dibuat
Persetujuan Bersama secara tertulis
yang ditanda tangani oleh para pihak
dan disampaikan kepada pihak yang
berkepentingan.
(6) Persetujuan Bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) disertai oleh bukti-bukti yang ada
harus disampaikan oleh pengusaha
kepada Panitia Daerah untuk
permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja massal melalui
Departemen Tenaga Kerja.
(7) Dalam hal perundingan
mencapai persetujuan Bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) Panitia Daerah atau Panitia Pusat
pada dasarnya memberikan ijin
sesuai dengan hasil kesepakatan
tersebut kecuali Persetujuan
Bersama tersebut terbukti tidak sah.
(8) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak mencapai kesepakatan
penyelesaian, maka sebelum
pengusaha mengajukan
permohonan ijin kepada Panitia
Daerah untuk pemutusan hubungan
kerja perorangan atau kepada Panitia
Pusat untuk pemutusan hubungan
kerja massal, kedua belah pihak atau
salah satu pihak mengajukan
permintaan untuk diperantarai oleh
Pegawai Perantara sesuai dengan
tingkat kewenangannya.
(9) Risalah hasil perundingan baik
yang telah mencapai Persetujuan
Bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) maupun tidak harus
dilampirkan pada setiap
permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja.
Pasal 11
(1) Pegawai perantara harus
menerima setiap permintaan
perantaraan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (8) dan dalam
waktu yang selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan perantara harus sudah
mengadakan perantaraan menurut
peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Dalam hal Pegawai Perantara
memerima pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ternyata belum ada
perundingan oleh kedua belah pihak,
maka Pegawai Perantara harus
mengupayakan untuk mengadakan
perundingan terlebih dahulu.
(3) Pegawai Perantara dalam
melaksanakan perantaraan
penyelesaian pemutusan hubungan
kerja harus mengupayakan
penyelesaian melalui perundingan
secara musyawarah untuk mufakat.
Pasal 12
(1) Dalam hal pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 ayat (2) tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian Pegawai Perantara
harus membuat anjuran secara
tertulis yang memuat usul
penyelesaian dengan menyebutkan
dasar pertimbangannya dan
menyampaikan kepada para pihak
serta mengupayakan tanggapan
para pihak dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya anjuran tersebut.
(2) Dalam hal salah satu pihak atau
kedua belah pihak tidak memberikan
tanggapan dalam waktu 7 (tujuh)
hari sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) maka dianggap menolak
anjuran.
(3) Dalam hal salah satu pihak
menolak anjuran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
maka Pegawai Perantara harus
membuat laporan perantaraan
secara lengkap sehingga
memberikan ikhtisar yang jelas
mengenai penyelesaian pemutusan
hubungan kerja.
(4) Dalam hal pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 ayat (2) tercapai kesepakatan
penyelesaian maka dibuat
Persetujuan Bersama secara tertulis
yang ditanda tangani oleh para pihak
dan diketahui oleh Pegawai
Perantara.
(5) Dalam hal pelaksanaan
pemerantaraan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (2)
terdapat tuntutan yang bersifat
normatif antara lain upah lembur
dan tunjangan kecelakaan maka
Pegawai Perantara meminta
bantuan kepada Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan Kantor Departemen
Tenaga Kerja setempat untuk
memetapkan dan menghitung hak
pekerja tersebut.
(6) Dalam hal pemerantaraan
mencapai kesepakatan penyelesaian
atau tidak. Pegawai Perantara harus
menyampaikan berkas penyelesaian
perantaraan kepada Panitia Daerah
untuk pemutusan hubungan kerja
perorangan atau kepada Panitia
Pusat untuk pemutusah hubungan
kerja massal disertai data-data
secara lengkap dengan tembusan
kepada Kantor Wilayah Departemen
Tenaga Kerja setempat.
Pasal 13
Penyelesaian di tingkat
pemerantaraan harus sudah selesai
dalam waktu selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya permintaan
pemerantaraan.
Pengusaha dengan segala daya
upayanya harus mengusahakan
agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja dengan melakukan
pembinaan terhadap pekerja yang
bersangkutan atau dengan
memperbaiki kondisi perusahaan
dengan melakukan langkah-langkah
efisiensi untuk penyelamatan
perusahaan.
Pasal 7
(1) Pembinaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 dapat
dilakukan oleh pengusaha dengan
cara memberikan peringatan kepada
pekerja baik lisan maupun tertulis
sebelum melakukan pemutusan
hubungan kerja .
(2) Surat peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat berupa surat peringatan
tertulis pertama, kedua dan ketiga,
kecuali dalam hal pekerja melakukan
kesalahan-kesalahan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 dan pasal
18 ayat (1).
(3) Masa berlaku masing-masing
surat peringatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) selama 6
(enam) bulan, kecuali ditentukan lain
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama
(4) Keabsahan surat peringatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) didasarkan pada ketentuan yang
berlaku dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama.
Pasal 8
(1) Penyimpangan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 ayat (2) pengusaha dapat
memberikan langsung surat
peringatan tingkat terakhir kepada
pekerja apabila :
a. Setelaj 3 (tiga) kali berturut-turut
pekerja tetap menolak untuk
mentaati perintah atau penugasan
yang layak sebagaimana tercantum
dalam Perjanjian Kerja atau
Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama.
b. Dengan sengaja atau karena lalai
mengakibatkan dirinya dalam
keadaan tidak dapat melakukan
pekerjaan yang diberikan
kepadanya.
c. Tidak cakap melakukan pekerjaan
walaupun sudah dicoba dibidang
tugas yang ada.
d. Melanggar ketentuan yang telah
ditetapkan dalam Perjanjian Kerja
atau Peraturan Perusahaan atau
Kesepakatan Kerja Bersama yang
dapat dikenakan peringatan terakhir.
Pasal 9
Setelah mendapatkan surat
peringatan terakhir pekerja masih
tetap melakukan pelanggaran lagi,
maka pengusaha dapat mengajukan
ijin pemutusan hubungan kerja
kepada Panitia Daerah untuk
pemutusan hubungan kerja
perorangan atau Panitia Pusat untuk
pemutusan hubungan kerja massal.
Pasal 10
(1) Dalam hal pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dihindarkan maka
pengusaha dan pekerja itu sendiri
atau Serikat Pekerja yang terdaftar di
Departemen Tenaga Kerja apabila
pekerja tersebut menjadi
anggotanya, wajib
memusyawarahkan secara Bipartit
untuk mencapai kesepakatan
penyelesaian mengenai pemutusan
hubungan kerja tersebut.
(2) Serikat Pekerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam
merundingkan penyelesaian
pemutusan hubungan kerja
terhadap pekerja yang bukan
anggotanya harus mendapat kuasa
secara tertulis dari pekerja yang
bersangkutan.
(3) Setiap perundingan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali
dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari takwim dan setiap
perundingan dibuat risalah yang
ditandatangani para pihak.
(4) Risalah perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) memuat antara lain:
1. Nama dan alamat pekerja.
2. Nama dan alamat Serikat Pekerja
atau organisasi pekerja lainnya yang
terdaftar pada Departemen Tenaga
Kerja.
3. Nama dan alamat Pengurus atau
yang mewakili.
4. Tanggal dan tempat perundingan.
5. Pokok masalah atau alasan
pemutusan hubungan kerja.
6. Pendirian para pihak.
7. Kesimpulan perundingan.
8. Tanggal dan tanda tangan pihak-
pihak yang melakukan perundingan.
(5) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) mencapai kesepakatan
penyelesaian, maka dibuat
Persetujuan Bersama secara tertulis
yang ditanda tangani oleh para pihak
dan disampaikan kepada pihak yang
berkepentingan.
(6) Persetujuan Bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) disertai oleh bukti-bukti yang ada
harus disampaikan oleh pengusaha
kepada Panitia Daerah untuk
permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja massal melalui
Departemen Tenaga Kerja.
(7) Dalam hal perundingan
mencapai persetujuan Bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(5) Panitia Daerah atau Panitia Pusat
pada dasarnya memberikan ijin
sesuai dengan hasil kesepakatan
tersebut kecuali Persetujuan
Bersama tersebut terbukti tidak sah.
(8) Dalam hal perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak mencapai kesepakatan
penyelesaian, maka sebelum
pengusaha mengajukan
permohonan ijin kepada Panitia
Daerah untuk pemutusan hubungan
kerja perorangan atau kepada Panitia
Pusat untuk pemutusan hubungan
kerja massal, kedua belah pihak atau
salah satu pihak mengajukan
permintaan untuk diperantarai oleh
Pegawai Perantara sesuai dengan
tingkat kewenangannya.
(9) Risalah hasil perundingan baik
yang telah mencapai Persetujuan
Bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (5) maupun tidak harus
dilampirkan pada setiap
permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja.
Pasal 11
(1) Pegawai perantara harus
menerima setiap permintaan
perantaraan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (8) dan dalam
waktu yang selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sejak diterimanya
permohonan perantara harus sudah
mengadakan perantaraan menurut
peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Dalam hal Pegawai Perantara
memerima pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ternyata belum ada
perundingan oleh kedua belah pihak,
maka Pegawai Perantara harus
mengupayakan untuk mengadakan
perundingan terlebih dahulu.
(3) Pegawai Perantara dalam
melaksanakan perantaraan
penyelesaian pemutusan hubungan
kerja harus mengupayakan
penyelesaian melalui perundingan
secara musyawarah untuk mufakat.
Pasal 12
(1) Dalam hal pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 ayat (2) tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian Pegawai Perantara
harus membuat anjuran secara
tertulis yang memuat usul
penyelesaian dengan menyebutkan
dasar pertimbangannya dan
menyampaikan kepada para pihak
serta mengupayakan tanggapan
para pihak dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya anjuran tersebut.
(2) Dalam hal salah satu pihak atau
kedua belah pihak tidak memberikan
tanggapan dalam waktu 7 (tujuh)
hari sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) maka dianggap menolak
anjuran.
(3) Dalam hal salah satu pihak
menolak anjuran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
maka Pegawai Perantara harus
membuat laporan perantaraan
secara lengkap sehingga
memberikan ikhtisar yang jelas
mengenai penyelesaian pemutusan
hubungan kerja.
(4) Dalam hal pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 ayat (2) tercapai kesepakatan
penyelesaian maka dibuat
Persetujuan Bersama secara tertulis
yang ditanda tangani oleh para pihak
dan diketahui oleh Pegawai
Perantara.
(5) Dalam hal pelaksanaan
pemerantaraan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (2)
terdapat tuntutan yang bersifat
normatif antara lain upah lembur
dan tunjangan kecelakaan maka
Pegawai Perantara meminta
bantuan kepada Pegawai Pengawas
Ketenagakerjaan Kantor Departemen
Tenaga Kerja setempat untuk
memetapkan dan menghitung hak
pekerja tersebut.
(6) Dalam hal pemerantaraan
mencapai kesepakatan penyelesaian
atau tidak. Pegawai Perantara harus
menyampaikan berkas penyelesaian
perantaraan kepada Panitia Daerah
untuk pemutusan hubungan kerja
perorangan atau kepada Panitia
Pusat untuk pemutusah hubungan
kerja massal disertai data-data
secara lengkap dengan tembusan
kepada Kantor Wilayah Departemen
Tenaga Kerja setempat.
Pasal 13
Penyelesaian di tingkat
pemerantaraan harus sudah selesai
dalam waktu selambat-lambatnya
30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya permintaan
pemerantaraan.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang
dimaksud dengan :
a. Perusahaan adalah :
1) Setiap bentuk usaha milik swasta
yang memperkerjakan pekerjaan
dengan tujuan mencari keuntungan
atau tidak.
2) Usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan tetapi mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah,
kecuali usaha-usaha sosial yang
usaha pembiayaannya tergantung
subsidi pihak lain dan lembaga-
lembaga sosial milik lembaga
diplomatik.
b. Pengusaha adalah :
1) Orang, persekutuan atau badan
hukum yang menjalankan sesuatu
perusahaan milik sendiri.
2) Orang, persekutuan atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan
miliknya.
3) Orang, persekutuan atau badan
hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan 2 yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
c. Pekerja adalah orang yang
bekerja pada pengusaha dengan
menerima upah.
d. Pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja
antara pengusaha dengan pekerja
berdasarkan ijin Panitia Daerah atau
Panitia Pusat.
e. Pemutusan hubungan kerja
secara besar-besaran (massal)
adalah pemutusan hubungan kerja
terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja
atau lebih satu perusahaan dalam
satu bulan atau terjadi rentetan
pemutusan hubungan kerja yang
dapat menggambarkan suatu itikad
pengusaha untuk mengadakan
pemutusan hubungan kerja secara
besar-besaran.
f. Uang pesangon adalah pemberian
berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai akibat adanya
pemutusan hubungan kerja.
g. Uang jasa adalah pemberian
berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai penghargaan
berdasarkan masa kerja akibat
adanya pemutusan hubungan kerja.
h. Ganti Kerugian adalah pemberian
berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai pengganti istirahat
tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang ke tempat dimana
pekerja di terima bekerja, fasilitas
pengobatan, fasilitas perumahan
dan lain-lain yang ditetapkan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
sebagai akibat adanya pemutusan
hubungan kerja.
i. Pegawai perantara adalah :
pegawai sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 ayat (1) huruf e
undang-undang no. 22 tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
j. Panitia Daerah adalah Panitia
Penyelesaian Perburuhan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal
1 ayat (1) huruf f Undang-undang
No. 22 tahun 1957, tentang
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
k. Panitia Pusat adalah Panitia
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat sebagaimana
dimaksud pada pasal 1 ayat (1) huruf
g undang-undang no. 22 tahun
1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan.
l. Tunjangan tetap adalah suatu
imbalan yang diterima oleh pekerja
secara tetap jumlahnya dan teratur
pembayarannya yang tidak dikaitkan
dengan kehadiran ataupun
pencapaian prestasi kerja teratur.
Pasal 2
1. Setiap pemutusan hubungan kerja
di perusahaan harus mendapatkan
ijin dari Panitia Daerah untuk
pemutusan hubungan kerja
perorangan dan dari Panitia Pusat
untuk pemutusan kerja massal.
2. Pengecualian dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pengusaha dapat memutuskan
hubungan kerja tanpa meminta ijin
kepada Panitia Daerah atau Panitia
Pusat dalam hal :
a. Pekerja dalam masa percobaan ;
b. Pekerja mengajukan permintaan
mengundurkan diri secara tertulis
atas kemauan sendiri tanpa
mengajukan syarat;
c. Pekerja telah mencapai usia
pensiun yang ditetapkan dalam
Perjanjian Kerja atau Peraturan
Perusahaan atau Kesepakatan Kerja
Bersama;
(3) Permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja tidak dapat
diberikan apabila pemutusan
hubungan kerja didasarkan atas :
a. Hal-hal yang berhubungan
dengan kepengurusan dan atau
keanggotaan Serikat Pekerja yang
terdaftar di Departemen Tenaga
Kerja atau dalam rangka
membentuk Serikat Pekerja atau
melaksanakan tugas-tugas atau
fungsi serikat pekerja atau
melaksanakan tugas-tugas atau
fungsi Serikat Pekerja di luar jam
kerja atau di dalam jam kerja atas
ijin tertulis pengusaha atau yang
diatur dalam kesepakatan Kerja
Bersama.
b. Pengaduan pekerja kepada yang
berwajib mengenai tingkah laku
pengusaha yang terbukri melanggar
Peraturan Negara;
c. Paham, agama, aliran, suku,
golongan atau jenis kelamin.
(4) Pemutan hubungan kerja
dilarang :
a. Selama pekerja berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena
keadaan sakit menurut ketenangan
dokter, selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan
terus menerus.
b. Selama pekerja berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap
Negara yang ditetapkan oleh
Undang-undang atau Pemerintah
atau karena menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya dan
yang disetujui Pemerintah.
c. Karena alasan menikah, hamil,
atau melahirkan bagi pekerja wanita.
Pasal 3
Ketentuan penyelesaian pemutusan
hubungan kerja di tingkat Panitia
Daerah atau Panitia Pusat dalam
peraturan ini dapat berlaku pada
Perusahaan Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah dengan cara penundukan
diri secara sukarela oleh kedua belah
pihak yaitu pekerja dan pengusaha.
Pasal 4
Panitia Daerah dan Panitia Pusar
dalam menyelesaikan perkara
pemutusan hubungan kerja
berdasarkan tata tertib persidangan
menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 5
(1) Hubungan kerja yang
mempersyaratkan adanya masa
percobaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (2) huruf a harus
dinyatakan secara tertulis dan
diberitahukan kepada pekerja yang
bersangkutan.
(2) Lamanya masa percobaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) paling lama 3 (tiga) bulan dan
hanya boleh diadakan untuk satu kali
masa percobaan.
(3) Pengusaha yang menerima
pekerja yang sebelumnya telah
mengikuti magang atau job training
di perusahaannya atau di
perusahaan yang ditunjuk oleh
pengusaha yang bersangkutan yang
bersangkutan tidak boleh
mensyaratkan adanya masa
percobaan.
(4) Ketentuan adanya masa
percobaan tidak berlaku untuk
kesepakatan kerja waktu tertentu.
Dalam Peraturan Menteri ini yang
dimaksud dengan :
a. Perusahaan adalah :
1) Setiap bentuk usaha milik swasta
yang memperkerjakan pekerjaan
dengan tujuan mencari keuntungan
atau tidak.
2) Usaha-usaha sosial dan usaha-
usaha lain yang tidak berbentuk
perusahaan tetapi mempunyai
pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah,
kecuali usaha-usaha sosial yang
usaha pembiayaannya tergantung
subsidi pihak lain dan lembaga-
lembaga sosial milik lembaga
diplomatik.
b. Pengusaha adalah :
1) Orang, persekutuan atau badan
hukum yang menjalankan sesuatu
perusahaan milik sendiri.
2) Orang, persekutuan atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan
miliknya.
3) Orang, persekutuan atau badan
hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud pada angka 1 dan 2 yang
berkedudukan di luar wilayah
Indonesia.
c. Pekerja adalah orang yang
bekerja pada pengusaha dengan
menerima upah.
d. Pemutusan hubungan kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja
antara pengusaha dengan pekerja
berdasarkan ijin Panitia Daerah atau
Panitia Pusat.
e. Pemutusan hubungan kerja
secara besar-besaran (massal)
adalah pemutusan hubungan kerja
terhadap 10 (sepuluh) orang pekerja
atau lebih satu perusahaan dalam
satu bulan atau terjadi rentetan
pemutusan hubungan kerja yang
dapat menggambarkan suatu itikad
pengusaha untuk mengadakan
pemutusan hubungan kerja secara
besar-besaran.
f. Uang pesangon adalah pemberian
berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai akibat adanya
pemutusan hubungan kerja.
g. Uang jasa adalah pemberian
berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai penghargaan
berdasarkan masa kerja akibat
adanya pemutusan hubungan kerja.
h. Ganti Kerugian adalah pemberian
berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai pengganti istirahat
tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang ke tempat dimana
pekerja di terima bekerja, fasilitas
pengobatan, fasilitas perumahan
dan lain-lain yang ditetapkan oleh
Panitia Daerah atau Panitia Pusat
sebagai akibat adanya pemutusan
hubungan kerja.
i. Pegawai perantara adalah :
pegawai sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 ayat (1) huruf e
undang-undang no. 22 tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
j. Panitia Daerah adalah Panitia
Penyelesaian Perburuhan Daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal
1 ayat (1) huruf f Undang-undang
No. 22 tahun 1957, tentang
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
k. Panitia Pusat adalah Panitia
Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat sebagaimana
dimaksud pada pasal 1 ayat (1) huruf
g undang-undang no. 22 tahun
1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan.
l. Tunjangan tetap adalah suatu
imbalan yang diterima oleh pekerja
secara tetap jumlahnya dan teratur
pembayarannya yang tidak dikaitkan
dengan kehadiran ataupun
pencapaian prestasi kerja teratur.
Pasal 2
1. Setiap pemutusan hubungan kerja
di perusahaan harus mendapatkan
ijin dari Panitia Daerah untuk
pemutusan hubungan kerja
perorangan dan dari Panitia Pusat
untuk pemutusan kerja massal.
2. Pengecualian dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pengusaha dapat memutuskan
hubungan kerja tanpa meminta ijin
kepada Panitia Daerah atau Panitia
Pusat dalam hal :
a. Pekerja dalam masa percobaan ;
b. Pekerja mengajukan permintaan
mengundurkan diri secara tertulis
atas kemauan sendiri tanpa
mengajukan syarat;
c. Pekerja telah mencapai usia
pensiun yang ditetapkan dalam
Perjanjian Kerja atau Peraturan
Perusahaan atau Kesepakatan Kerja
Bersama;
(3) Permohonan ijin pemutusan
hubungan kerja tidak dapat
diberikan apabila pemutusan
hubungan kerja didasarkan atas :
a. Hal-hal yang berhubungan
dengan kepengurusan dan atau
keanggotaan Serikat Pekerja yang
terdaftar di Departemen Tenaga
Kerja atau dalam rangka
membentuk Serikat Pekerja atau
melaksanakan tugas-tugas atau
fungsi serikat pekerja atau
melaksanakan tugas-tugas atau
fungsi Serikat Pekerja di luar jam
kerja atau di dalam jam kerja atas
ijin tertulis pengusaha atau yang
diatur dalam kesepakatan Kerja
Bersama.
b. Pengaduan pekerja kepada yang
berwajib mengenai tingkah laku
pengusaha yang terbukri melanggar
Peraturan Negara;
c. Paham, agama, aliran, suku,
golongan atau jenis kelamin.
(4) Pemutan hubungan kerja
dilarang :
a. Selama pekerja berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena
keadaan sakit menurut ketenangan
dokter, selama waktu tidak
melampaui 12 (dua belas) bulan
terus menerus.
b. Selama pekerja berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap
Negara yang ditetapkan oleh
Undang-undang atau Pemerintah
atau karena menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya dan
yang disetujui Pemerintah.
c. Karena alasan menikah, hamil,
atau melahirkan bagi pekerja wanita.
Pasal 3
Ketentuan penyelesaian pemutusan
hubungan kerja di tingkat Panitia
Daerah atau Panitia Pusat dalam
peraturan ini dapat berlaku pada
Perusahaan Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah dengan cara penundukan
diri secara sukarela oleh kedua belah
pihak yaitu pekerja dan pengusaha.
Pasal 4
Panitia Daerah dan Panitia Pusar
dalam menyelesaikan perkara
pemutusan hubungan kerja
berdasarkan tata tertib persidangan
menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 5
(1) Hubungan kerja yang
mempersyaratkan adanya masa
percobaan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (2) huruf a harus
dinyatakan secara tertulis dan
diberitahukan kepada pekerja yang
bersangkutan.
(2) Lamanya masa percobaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) paling lama 3 (tiga) bulan dan
hanya boleh diadakan untuk satu kali
masa percobaan.
(3) Pengusaha yang menerima
pekerja yang sebelumnya telah
mengikuti magang atau job training
di perusahaannya atau di
perusahaan yang ditunjuk oleh
pengusaha yang bersangkutan yang
bersangkutan tidak boleh
mensyaratkan adanya masa
percobaan.
(4) Ketentuan adanya masa
percobaan tidak berlaku untuk
kesepakatan kerja waktu tertentu.
Kamis, 17 Juni 2010
Problem Pemutusan HubunganKerja
Salah satu persoalan besar yang
dihadapi para buruh saat ini adalah
PHK. PHK ini menjadi salah satu
sumber pengangguran di
Indonesia. Jumalah Pengangguran
di Indonesia sangat besar. Menurut
Center for Labor and Development
Studies (CLDS), pada 2002, jumlah
penganggur diperkirakan sebesar
42 juta orang (Republika, 13/05/02)
. Pastilah, banyaknya
pengangguran ini akan berakibat
banyak pada sektor kehidupan
lainnya. Sebenarnya, PHK adalah
perkara biasa dalam dunia
ketenagakerjaan. Tentunya asalkan
sesuai dengan kesepakatan kerja
bersama (KKB) dan pihak pekerja
maupun pengusaha harus ikhlas
dan menyepakati pemutusan kerja
ini. Hanya saja, dalam kondisi
dimana tidak terjadi keseimbangan
posisi tawar menawar maka PHK,
dan pekerjaan merupakan satu-
satunya sumber pendapatan untuk
hidup, maka PHKmenjadi "Bencana
besar" yang sangat menakutkan
para buruh.
Secara umum PHK terjadi karena
beberapa sebab seperti permintaan
sendiri, berakhirnya masa kontrak
kerja, kesalahan buruh, masa
pensiun, kesehatan/ kondisi fisik
yang tidak memungkinkan, dan
meninggal dunia. Problema PHK
biasanya terjadi dan kemudian
menimbulkan problema lain yang
lebih besar bagi kalangan buruh,
karena beberapa kondisi dalam
hubungan buruh-pengusaha,
diantaranya :
1. Posisi salah satu pihak yang
lemah (biasanya pihak pekerja)
sehingga pihak lain yang lebih
kuat dengan mudah
memutuskan hubungan kerja
dan menggantinya dengan
pekerja baru yang sesuai
keinginan. Hal itu dilakukan
dengan alasan logis maupun
direkayasa.
2. Tidak jelasnya kontrak (waktu)
kerja sehingga PHK bisa terjadi
kapan saja. Kebijakan
menetapkan KKB
(KesepakatanKerja Bersama)
tidak dilakukan dan dikontrol
dengan baik sehingga kasus
PHK bisa terjadi kapan saja.
3. Rendahnya SDM kaum pekerja,
semakin sulitnya mencari
pekerjaan alternatif, dan tidak
terjaminnya pemenuhan
kebutuhan dasar oleh
negara.Tidak heran , PHK
menjadi seperti "vonis mati"
bagi pemenuhan kebutuhan
dasar kehidupan normalnya.
4. Tidak adanya pihak ketiga yang
membantu penyelesaian kasus
PHK secara tuntas yang
memuaskan kedua pihak,
terutama pihak buruh yang
paling sering menerima
"kekalahan". Meskipun
pemerintah telah menyusun
peraturan teknis tentang PHK
dalam UU No. 12 Tahun 1964
yang disempurnakan
olehPeraturan Menteri Tenaga
Kerja No.PER-03/MEN/1996,
namun dalam pelaksanaan
teknisnya banyak realitas yang
merugikan hak-hak kaum
buruh itu sendiri. Secara
kasuistik, hal itu lebih
disebabkan rendahnya
pemahaman buruh terhadap
berbagai peraturan
pemerintah, posisi tawar yang
rendah, dan tidak adanya
lembaga pendamping yang
secara serius membela kondisi
kaum buruh dalam
menghadapai kasus PHK ini.
Sebenarnya, PHK
bukanlah problem yang besar
kalau kondisi sistem
hubungan buruh pengusaha
telah seimbang dan adanya
jaminan kebutuhan pokok bagi
buruh sebagaimana bagi
seluruh rakyat oleh sistem
pemerintahan yang
menjadikan "pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat"
sebagai azas politik
perekonomiannya.
(Sumber : http://jurnal-ekonomi.org/)
dihadapi para buruh saat ini adalah
PHK. PHK ini menjadi salah satu
sumber pengangguran di
Indonesia. Jumalah Pengangguran
di Indonesia sangat besar. Menurut
Center for Labor and Development
Studies (CLDS), pada 2002, jumlah
penganggur diperkirakan sebesar
42 juta orang (Republika, 13/05/02)
. Pastilah, banyaknya
pengangguran ini akan berakibat
banyak pada sektor kehidupan
lainnya. Sebenarnya, PHK adalah
perkara biasa dalam dunia
ketenagakerjaan. Tentunya asalkan
sesuai dengan kesepakatan kerja
bersama (KKB) dan pihak pekerja
maupun pengusaha harus ikhlas
dan menyepakati pemutusan kerja
ini. Hanya saja, dalam kondisi
dimana tidak terjadi keseimbangan
posisi tawar menawar maka PHK,
dan pekerjaan merupakan satu-
satunya sumber pendapatan untuk
hidup, maka PHKmenjadi "Bencana
besar" yang sangat menakutkan
para buruh.
Secara umum PHK terjadi karena
beberapa sebab seperti permintaan
sendiri, berakhirnya masa kontrak
kerja, kesalahan buruh, masa
pensiun, kesehatan/ kondisi fisik
yang tidak memungkinkan, dan
meninggal dunia. Problema PHK
biasanya terjadi dan kemudian
menimbulkan problema lain yang
lebih besar bagi kalangan buruh,
karena beberapa kondisi dalam
hubungan buruh-pengusaha,
diantaranya :
1. Posisi salah satu pihak yang
lemah (biasanya pihak pekerja)
sehingga pihak lain yang lebih
kuat dengan mudah
memutuskan hubungan kerja
dan menggantinya dengan
pekerja baru yang sesuai
keinginan. Hal itu dilakukan
dengan alasan logis maupun
direkayasa.
2. Tidak jelasnya kontrak (waktu)
kerja sehingga PHK bisa terjadi
kapan saja. Kebijakan
menetapkan KKB
(KesepakatanKerja Bersama)
tidak dilakukan dan dikontrol
dengan baik sehingga kasus
PHK bisa terjadi kapan saja.
3. Rendahnya SDM kaum pekerja,
semakin sulitnya mencari
pekerjaan alternatif, dan tidak
terjaminnya pemenuhan
kebutuhan dasar oleh
negara.Tidak heran , PHK
menjadi seperti "vonis mati"
bagi pemenuhan kebutuhan
dasar kehidupan normalnya.
4. Tidak adanya pihak ketiga yang
membantu penyelesaian kasus
PHK secara tuntas yang
memuaskan kedua pihak,
terutama pihak buruh yang
paling sering menerima
"kekalahan". Meskipun
pemerintah telah menyusun
peraturan teknis tentang PHK
dalam UU No. 12 Tahun 1964
yang disempurnakan
olehPeraturan Menteri Tenaga
Kerja No.PER-03/MEN/1996,
namun dalam pelaksanaan
teknisnya banyak realitas yang
merugikan hak-hak kaum
buruh itu sendiri. Secara
kasuistik, hal itu lebih
disebabkan rendahnya
pemahaman buruh terhadap
berbagai peraturan
pemerintah, posisi tawar yang
rendah, dan tidak adanya
lembaga pendamping yang
secara serius membela kondisi
kaum buruh dalam
menghadapai kasus PHK ini.
Sebenarnya, PHK
bukanlah problem yang besar
kalau kondisi sistem
hubungan buruh pengusaha
telah seimbang dan adanya
jaminan kebutuhan pokok bagi
buruh sebagaimana bagi
seluruh rakyat oleh sistem
pemerintahan yang
menjadikan "pemenuhan
kebutuhan dasar rakyat"
sebagai azas politik
perekonomiannya.
(Sumber : http://jurnal-ekonomi.org/)
Menyoroti Problem Ketenagakerjaan Dewasa Ini(bag2)
Problem Gaji / UMR
Salah satu problem yang
langsung menyentuh kaum buruh
adalah rendahnya atau tidak
sesuainya pendapatan (gaji) yang
diperoleh dengan tuntutan untukÂ
memenuhi kebutuhan hidupnya
beserta tanggungannya. Faktor
ini , yakni kebutuhan hidup
semakin meningkat, sementaraÂ
gaji yang diterima relatif tetap,
menjadi salah satu pendorong
gerak protes kaum buruh.
Sementara itu dalam
sistem ekonomi Kapitalis,
rendahnya gaji buruh justu
menjadi penarik bagi para investor
asing. Termasuk pemerintah,
untuk kepentingan peningkatan
pendapatan pemerintah (bukan
rakyat), justru memelihara kondisi
seperti ini. Kondisi ini
menyebabkan pihak pemerintah
lebih sering memihak ’sang
investor’ , dibanding dengan
buruh (yang merupakan rakyatnya
sendiri ) ketika terjadi krisis
perburuhan. Rendahnya gaji juga
berhubungan dengan rendahnya
kualitas SDM. Persoalannya
bagaimana, SDM bisa meningkat
kalau biaya pendidikan mahal ?
Untuk membantu
mengatasi problem gaji,
pemerintah biasanyamembuat
‘batas minimal gaji’ yang harus
dibayarkan oleh perusahaan
kepada pekerjanya, yang
kemudian dikenal dengan istilah
Upah Minimum Regional (UMR)
atau Upah MinimumDaerah (UMD)
atau Upah Minimum Kota (UMK)
yang mengacu pada UU Otonomi
Daerah No. 22 Tahun 1999.
Intervensi pemerintah dalam hal ini
ditujukan untuk menghilangkan
kesan eksploitasi pemilik usaha
kepada buruh karena membayar
dibawah standar hidupnya. Nilai
UMR, UMD dan UMK inibiasanya
dihitung bersama berbagai pihak
yang merujuk kepada Kebutuhan
Fisik Minimum Keluarga (KFM),
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM)
atau kondisi lain di daerah yang
bersangkutan.
Penetapan UMR sendiri
sebenarnya ’sangat bermasalah’
dilihat dari realitas terbentuknya
kesepakatan upah dari pihak
pengusaha dan buruh. Dalam
kondisi normal dan dalam sudut
pandang keadilan ekonomi,
seharusnya nilai upah sebanding
dengan besarnya peran jasa buruh
dalam mewujudkan hasil usaha
dari perusahaan yang
bersangkutan. Penetapan UMR dan
UMD di satu sisi dimanfaatkan
buruh-buruh ‘malas’ untuk
memaksa pengusaha memberi
gaji minimal, meski perannya
dalam kerja perusahaan sangat
sedikit (meskipun ini sangat jarang
terjadi) . Di sisi lain UMR dan UMD
kerap digunakan pengusaha untuk
menekan besaran gaji agar tidak
terlalu tinggi, meskipun si buruh
telah mengorbankan tenaga dan
jam kerjanya yang sangat banyak
dalam proses produksi suatu
perusahaan. Bila diteliti lebih jauh,
penetapan UMR dan UMD ternyata
tidak serta merta menghilangkanÂ
problem gaji/ upah ini. Hal ini
terjadi setidaknya disebabkan oleh :
1. Pihak pekerja, yang
mayoritasnya berkualitas SDM
rendah berada dalam kuantitas
yang banyak sehingga nyaris
tidak memiliki posisi tawar
yang cukup dalam
menetapkan gaji
yangdiinginkan. Walhasil
besaran gaji hanya ditentukan
oleh pihak majikan, dan kaum
buruh berada pada posisiÂ
’sulitmenolak’.
2. Pihak majikan sendiri sering
merasa keberatan dengan
batasan UMR. Mengingat
meskipun pekerja tersebut
bekerja sidikit dan mudah,
pengusaha tetap
harusmembayar sesuai batas
tersebut.
3. Posisi tawar yang rendah dari
para buruh semakin
memprihatinkan dengan tidak
adanya pembinaan dan
peningkatan kualitas buruh
oleh pemerintah, baik terhadap
kualitas keterampilan dan
pengetahuan para buruh
terhadap berbagai regulasi
perburuhan.
4. Kebutuhan hidup yang
memang juga bervariasi dan
semakin bertambah, tetap saja
tidak mampu dipenuhi dengan
gaji sesuai UMR. Pangkal dari
masalah ini adalah ‘karena gaji/
upah hanya satu-satunya
sumber pemasukan dalam
memenuhi berbagai
kebutuhan dasar kehidupan
masyarakat’.
Â
Solusi terhadap problema
UMR dan UMD ini tentu saja harus
terus diupayakan dan diharapkan
mampu membangun kondisi se-
ideal mungkin. Untuk tujuan itu,
setidaknya ada dua kondisi
mendesak yang harus
diwujudkan, yaitu :
1. Kondisi normal (persaingan
sempurna) yang mampu
menyetarakan posisi buruh-
pengusaha sehingga
penentuan besarnya upah
disepakati oleh kedua pihak
yang besarnya ditentukan oleh
besaran peran serta kerja
pihak buruh terhadap jalannya
usaha perusahaan yang
bersangkutan. Kondisi seperti
ini bisa terwujud jika kualitas
SDM buruh memadai sesuai
kebutuhan, dan besarnya
pasar tenaga kerja seimbang.
Kondisi seperti ini akan
mampu mewujudkan ‘akad
ijaroh (perjanjian kerja) yang
dalam pandangan Syariat
Islam yang didefinisikan secara
ringkas sebagai “‘Aqdun ‘ala al
manfa’ati bi ‘iwadhin” (Aqad
atas suatu manfaat dengan
imbalan/ upah).
2. Mewujudkan kondisi ideal
dimana seluruh rakyat (bukan
hanya kaum buruh) memiliki
pendapatan lain untuk
memenuhi kebutuhan dasar
minimal (haajat asaasiyah)
bagi kehidupannya.
Perwujudan kondisi ini, dalam
pandangan Syariat Islam
menjadi tanggung jawab
utama negara. Dalam Politik
ekonomi Islam, pemerintah
bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan pokok
(primer) rakyat dan
mempermudah kesempatan
untuk kebutuhan tambahan
(sekunder maupun tersier)
Sumber : http://jurnal-ekonomi.org/2004/05/01/menyoroti-problem-ketenagakerjaan-dewasa-ini/
Salah satu problem yang
langsung menyentuh kaum buruh
adalah rendahnya atau tidak
sesuainya pendapatan (gaji) yang
diperoleh dengan tuntutan untukÂ
memenuhi kebutuhan hidupnya
beserta tanggungannya. Faktor
ini , yakni kebutuhan hidup
semakin meningkat, sementaraÂ
gaji yang diterima relatif tetap,
menjadi salah satu pendorong
gerak protes kaum buruh.
Sementara itu dalam
sistem ekonomi Kapitalis,
rendahnya gaji buruh justu
menjadi penarik bagi para investor
asing. Termasuk pemerintah,
untuk kepentingan peningkatan
pendapatan pemerintah (bukan
rakyat), justru memelihara kondisi
seperti ini. Kondisi ini
menyebabkan pihak pemerintah
lebih sering memihak ’sang
investor’ , dibanding dengan
buruh (yang merupakan rakyatnya
sendiri ) ketika terjadi krisis
perburuhan. Rendahnya gaji juga
berhubungan dengan rendahnya
kualitas SDM. Persoalannya
bagaimana, SDM bisa meningkat
kalau biaya pendidikan mahal ?
Untuk membantu
mengatasi problem gaji,
pemerintah biasanyamembuat
‘batas minimal gaji’ yang harus
dibayarkan oleh perusahaan
kepada pekerjanya, yang
kemudian dikenal dengan istilah
Upah Minimum Regional (UMR)
atau Upah MinimumDaerah (UMD)
atau Upah Minimum Kota (UMK)
yang mengacu pada UU Otonomi
Daerah No. 22 Tahun 1999.
Intervensi pemerintah dalam hal ini
ditujukan untuk menghilangkan
kesan eksploitasi pemilik usaha
kepada buruh karena membayar
dibawah standar hidupnya. Nilai
UMR, UMD dan UMK inibiasanya
dihitung bersama berbagai pihak
yang merujuk kepada Kebutuhan
Fisik Minimum Keluarga (KFM),
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM)
atau kondisi lain di daerah yang
bersangkutan.
Penetapan UMR sendiri
sebenarnya ’sangat bermasalah’
dilihat dari realitas terbentuknya
kesepakatan upah dari pihak
pengusaha dan buruh. Dalam
kondisi normal dan dalam sudut
pandang keadilan ekonomi,
seharusnya nilai upah sebanding
dengan besarnya peran jasa buruh
dalam mewujudkan hasil usaha
dari perusahaan yang
bersangkutan. Penetapan UMR dan
UMD di satu sisi dimanfaatkan
buruh-buruh ‘malas’ untuk
memaksa pengusaha memberi
gaji minimal, meski perannya
dalam kerja perusahaan sangat
sedikit (meskipun ini sangat jarang
terjadi) . Di sisi lain UMR dan UMD
kerap digunakan pengusaha untuk
menekan besaran gaji agar tidak
terlalu tinggi, meskipun si buruh
telah mengorbankan tenaga dan
jam kerjanya yang sangat banyak
dalam proses produksi suatu
perusahaan. Bila diteliti lebih jauh,
penetapan UMR dan UMD ternyata
tidak serta merta menghilangkanÂ
problem gaji/ upah ini. Hal ini
terjadi setidaknya disebabkan oleh :
1. Pihak pekerja, yang
mayoritasnya berkualitas SDM
rendah berada dalam kuantitas
yang banyak sehingga nyaris
tidak memiliki posisi tawar
yang cukup dalam
menetapkan gaji
yangdiinginkan. Walhasil
besaran gaji hanya ditentukan
oleh pihak majikan, dan kaum
buruh berada pada posisiÂ
’sulitmenolak’.
2. Pihak majikan sendiri sering
merasa keberatan dengan
batasan UMR. Mengingat
meskipun pekerja tersebut
bekerja sidikit dan mudah,
pengusaha tetap
harusmembayar sesuai batas
tersebut.
3. Posisi tawar yang rendah dari
para buruh semakin
memprihatinkan dengan tidak
adanya pembinaan dan
peningkatan kualitas buruh
oleh pemerintah, baik terhadap
kualitas keterampilan dan
pengetahuan para buruh
terhadap berbagai regulasi
perburuhan.
4. Kebutuhan hidup yang
memang juga bervariasi dan
semakin bertambah, tetap saja
tidak mampu dipenuhi dengan
gaji sesuai UMR. Pangkal dari
masalah ini adalah ‘karena gaji/
upah hanya satu-satunya
sumber pemasukan dalam
memenuhi berbagai
kebutuhan dasar kehidupan
masyarakat’.
Â
Solusi terhadap problema
UMR dan UMD ini tentu saja harus
terus diupayakan dan diharapkan
mampu membangun kondisi se-
ideal mungkin. Untuk tujuan itu,
setidaknya ada dua kondisi
mendesak yang harus
diwujudkan, yaitu :
1. Kondisi normal (persaingan
sempurna) yang mampu
menyetarakan posisi buruh-
pengusaha sehingga
penentuan besarnya upah
disepakati oleh kedua pihak
yang besarnya ditentukan oleh
besaran peran serta kerja
pihak buruh terhadap jalannya
usaha perusahaan yang
bersangkutan. Kondisi seperti
ini bisa terwujud jika kualitas
SDM buruh memadai sesuai
kebutuhan, dan besarnya
pasar tenaga kerja seimbang.
Kondisi seperti ini akan
mampu mewujudkan ‘akad
ijaroh (perjanjian kerja) yang
dalam pandangan Syariat
Islam yang didefinisikan secara
ringkas sebagai “‘Aqdun ‘ala al
manfa’ati bi ‘iwadhin” (Aqad
atas suatu manfaat dengan
imbalan/ upah).
2. Mewujudkan kondisi ideal
dimana seluruh rakyat (bukan
hanya kaum buruh) memiliki
pendapatan lain untuk
memenuhi kebutuhan dasar
minimal (haajat asaasiyah)
bagi kehidupannya.
Perwujudan kondisi ini, dalam
pandangan Syariat Islam
menjadi tanggung jawab
utama negara. Dalam Politik
ekonomi Islam, pemerintah
bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan pokok
(primer) rakyat dan
mempermudah kesempatan
untuk kebutuhan tambahan
(sekunder maupun tersier)
Sumber : http://jurnal-ekonomi.org/2004/05/01/menyoroti-problem-ketenagakerjaan-dewasa-ini/
Menyoroti Problem Ketenagakerjaan Dewasa Ini(bag1)
oleh: Adi Abu Fatih Â
Pendahuluan
Hampir di semua negara
saat ini, problema ketenagakerjaan
atau perburuhan selalu tumbuh
dan berkembang, baik di negara
maju maupun berkembang, baik
yang menerapkan ideologi
kapitalisme maupun sosialisme.
Hal itu terlihat dari selalu adanya
departemen yang mengurusi
ketenagakerjaan pada setiap
kabinet yang dibentuk. Hanya saja
realitas tiap negara memberikan
beragam problem riil sehingga
terkadang memunculkan berbagai
alternatif solusi. Umumnya, negara
maju berkutat pada problem
ketenagakerjaan yang berkait
dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga
kerja, bertambahnya
pengangguran karena mekanisasi
(robotisasi), tenaga kerja ilegal,
serta tuntutan penyempurnaan
status ekonomi, sosial bahkan
politis. Sementara di negara
berkembang umumnya problem
ketenagakerjaan berkait dengan
sempitnya peluang kerja, tingginya
angka penganguran, rendahnya
kemampuan SDM tenaga kerja,
tingkat gaji yang rendah, jaminan
sosial nyaris tidak ada. Belum lagi
perlakuan penguasa yang
merugikan pekerja, sepertiÂ
perlakuan buruk, tindak asusila,
penghinaan, pelecehan seksual,
larangan berjilbab dan beribadah
dll.
Meski terlihat adanya ‘niat
baik’ dari setiap pemerintahan
untuk menyelesaikan berbagai
problema ketenagakerjaan ini,
namun dalam kenyataannya
seluruh kebijakan tersebut tidak
menyentuh problema mendasar
dari berbagai krisis tersebut. Tidak
heran kalau solusi yang
diberikan nyaris hanya sebagai
upaya tambal sulam, yang tidak
menyelesaikan persoalan secara
mendasar, menyeluruh dan
tuntas. Solusi seperti ini miripÂ
pemadaman api saat terjadi
kebakaran, tapi membiarkan
sumber kebakaran terus ada dan
siap meledak setiap saat. Di
Indonesia , selama masa Orde
Baru hingga saat ini, kondisi buruh
sangat memprihatinkan. Dengan
alasan mengejar angka
pertumbuhan pembangunan,
buruh mengalami dehumanisasi
secara sistematis.
Mekanisme Hubungan
Industrial Pancasila (HIP) yang
diterapkan selama ini juga banyak
mengalami kegagalan. HIP yangÂ
menekankan hubungan kemitraan
berazaskan kekeluargaan,
cenderung untuk mengikat
kesetiaan buruh dengan dalih
kesetiaan pada ideologi. PadaÂ
pelaksanaannya HIP justeru telah
mengebiri berbagai hak kaum
buruh, lebih memenangkan
kepentingan pengusaha.
Walhasil, berbagai
problem yang menyangkut hak-
hak kaum buruh tidak terselesaikan
dengan baik. Lebih ironis lagi,Â
pemerintah dengan aparat
keamannya bertindak represif
menekan gerakan buruh untuk
meraih hak-haknya.
Bagi buruh sendiri,Â
melakukan unjuk rasa atau
pemogokan massal menjadi
pilihan yang sering dilakukanÂ
untuk menarik perhatian
terhadap realitas kehidupan kaum
buruh yang sarat kesulitan. Dalam
tahun 2002, (hingga tengah tahun
2002 ini) Ditjen Binawas Depnaker
mencatat sekitar 600 kali
pemogokan buruh dan ribuan kali
demontrasi buruh. Kondisi seperti
ini tentunya, bukanlah kondisi
yang kondusif untuk bekerja dan
berusaha.
Bila pola hubungan buruh
dan pemilik usaha yang
seharusnya setara dalam format
simbiosis mutualisma (saling
menguntungkan) terus berubah
menjadi hubungan budak-
majikan. Tampak dari tindakan
penguasa yang semena-mena
terhadap buruh. Bila hal ini terus
terjadi, tidak tertutupÂ
kemungkinan muncul kondisi
seperti perburuhan di Eropa dan
Amerika abad ke-18 yang
kemudian melahirkan demontrasi
berbuntut kerusuhan besar tahun
1886 (peristiwa ini kemudian
mengilhami lahirnya Hari Buruh
Internasional tanggal 1 Mei)
Memang persoalan buruh
merupakan problem
multidimensional. Banyak faktor
yang mempengaruhi munculnya
problem ini, seperti ekonomi,
politik, keamanan nasional bahkan
intervensi negara-negara besar .
Karena itu penyelesaiannya
membutuhkan kebijakan
komprehensif dan mendasar.
Karenea persoalannya, merupakan
persoalan yang sistemik, maka
penyelesainnya juga haruslah
lewat perubahan sistem
kehidupan .Â
Dalam kondisi seperti ini,
perubahan sistemik menjadi
alternatif terbaik.MengingatÂ
perburuhan itu sendiri pada
hakekatnya merupakan bagian dari
problematika masyarakat secara
menyeluruh. Artinya, buruh
bukanlah satu-satu komponen
masyarakat yang mengadapi
persoalan tersebut. Hal yang sama
menimpa para guru, pegawai
negeri,birokrat, dosen , tentara ,
polisi dokter, perawat dan para
pekerja lainnya. Artinya jika para
buruh menuntut hak-haknya
untuk hidup lebih layak dan setiap
komponen rakyat juga menuntut
hal serupa (dan inilah yang
sesungguhnya terjadi). Karena
sesungguhnya , setiap individu
rakyat berhak untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Dan hal ini
merupakan tanggung jawab
negara . Berikut ini adalah
beberapa problem yang
berhubungan dengan
ketenagakerjaan
jurnal-ekonomi.org/2004/05/01/menyoroti-problem-ketenagakerjaan-dewasa-ini/
Pendahuluan
Hampir di semua negara
saat ini, problema ketenagakerjaan
atau perburuhan selalu tumbuh
dan berkembang, baik di negara
maju maupun berkembang, baik
yang menerapkan ideologi
kapitalisme maupun sosialisme.
Hal itu terlihat dari selalu adanya
departemen yang mengurusi
ketenagakerjaan pada setiap
kabinet yang dibentuk. Hanya saja
realitas tiap negara memberikan
beragam problem riil sehingga
terkadang memunculkan berbagai
alternatif solusi. Umumnya, negara
maju berkutat pada problem
ketenagakerjaan yang berkait
dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga
kerja, bertambahnya
pengangguran karena mekanisasi
(robotisasi), tenaga kerja ilegal,
serta tuntutan penyempurnaan
status ekonomi, sosial bahkan
politis. Sementara di negara
berkembang umumnya problem
ketenagakerjaan berkait dengan
sempitnya peluang kerja, tingginya
angka penganguran, rendahnya
kemampuan SDM tenaga kerja,
tingkat gaji yang rendah, jaminan
sosial nyaris tidak ada. Belum lagi
perlakuan penguasa yang
merugikan pekerja, sepertiÂ
perlakuan buruk, tindak asusila,
penghinaan, pelecehan seksual,
larangan berjilbab dan beribadah
dll.
Meski terlihat adanya ‘niat
baik’ dari setiap pemerintahan
untuk menyelesaikan berbagai
problema ketenagakerjaan ini,
namun dalam kenyataannya
seluruh kebijakan tersebut tidak
menyentuh problema mendasar
dari berbagai krisis tersebut. Tidak
heran kalau solusi yang
diberikan nyaris hanya sebagai
upaya tambal sulam, yang tidak
menyelesaikan persoalan secara
mendasar, menyeluruh dan
tuntas. Solusi seperti ini miripÂ
pemadaman api saat terjadi
kebakaran, tapi membiarkan
sumber kebakaran terus ada dan
siap meledak setiap saat. Di
Indonesia , selama masa Orde
Baru hingga saat ini, kondisi buruh
sangat memprihatinkan. Dengan
alasan mengejar angka
pertumbuhan pembangunan,
buruh mengalami dehumanisasi
secara sistematis.
Mekanisme Hubungan
Industrial Pancasila (HIP) yang
diterapkan selama ini juga banyak
mengalami kegagalan. HIP yangÂ
menekankan hubungan kemitraan
berazaskan kekeluargaan,
cenderung untuk mengikat
kesetiaan buruh dengan dalih
kesetiaan pada ideologi. PadaÂ
pelaksanaannya HIP justeru telah
mengebiri berbagai hak kaum
buruh, lebih memenangkan
kepentingan pengusaha.
Walhasil, berbagai
problem yang menyangkut hak-
hak kaum buruh tidak terselesaikan
dengan baik. Lebih ironis lagi,Â
pemerintah dengan aparat
keamannya bertindak represif
menekan gerakan buruh untuk
meraih hak-haknya.
Bagi buruh sendiri,Â
melakukan unjuk rasa atau
pemogokan massal menjadi
pilihan yang sering dilakukanÂ
untuk menarik perhatian
terhadap realitas kehidupan kaum
buruh yang sarat kesulitan. Dalam
tahun 2002, (hingga tengah tahun
2002 ini) Ditjen Binawas Depnaker
mencatat sekitar 600 kali
pemogokan buruh dan ribuan kali
demontrasi buruh. Kondisi seperti
ini tentunya, bukanlah kondisi
yang kondusif untuk bekerja dan
berusaha.
Bila pola hubungan buruh
dan pemilik usaha yang
seharusnya setara dalam format
simbiosis mutualisma (saling
menguntungkan) terus berubah
menjadi hubungan budak-
majikan. Tampak dari tindakan
penguasa yang semena-mena
terhadap buruh. Bila hal ini terus
terjadi, tidak tertutupÂ
kemungkinan muncul kondisi
seperti perburuhan di Eropa dan
Amerika abad ke-18 yang
kemudian melahirkan demontrasi
berbuntut kerusuhan besar tahun
1886 (peristiwa ini kemudian
mengilhami lahirnya Hari Buruh
Internasional tanggal 1 Mei)
Memang persoalan buruh
merupakan problem
multidimensional. Banyak faktor
yang mempengaruhi munculnya
problem ini, seperti ekonomi,
politik, keamanan nasional bahkan
intervensi negara-negara besar .
Karena itu penyelesaiannya
membutuhkan kebijakan
komprehensif dan mendasar.
Karenea persoalannya, merupakan
persoalan yang sistemik, maka
penyelesainnya juga haruslah
lewat perubahan sistem
kehidupan .Â
Dalam kondisi seperti ini,
perubahan sistemik menjadi
alternatif terbaik.MengingatÂ
perburuhan itu sendiri pada
hakekatnya merupakan bagian dari
problematika masyarakat secara
menyeluruh. Artinya, buruh
bukanlah satu-satu komponen
masyarakat yang mengadapi
persoalan tersebut. Hal yang sama
menimpa para guru, pegawai
negeri,birokrat, dosen , tentara ,
polisi dokter, perawat dan para
pekerja lainnya. Artinya jika para
buruh menuntut hak-haknya
untuk hidup lebih layak dan setiap
komponen rakyat juga menuntut
hal serupa (dan inilah yang
sesungguhnya terjadi). Karena
sesungguhnya , setiap individu
rakyat berhak untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Dan hal ini
merupakan tanggung jawab
negara . Berikut ini adalah
beberapa problem yang
berhubungan dengan
ketenagakerjaan
jurnal-ekonomi.org/2004/05/01/menyoroti-problem-ketenagakerjaan-dewasa-ini/
Bentuk-Bentuk PemutusanHubungan Kerja
Ada satu hal yang sering terlupakan
tentang topik ini, sebenarnya PHK
meresahkan kedua beah
pihak ,yaitu, bisnis dan tenaga kerja.
Tenaga kerja sudah tentu kehilangan
pekerjaan dan pendapatan.
Sedangkan pada sisi bisnis
terungkap sebagai biaya. Biaya
tersebut, merupakan biaya
pergantian tenaga kerja yang
meliputi: hiring cost, training cost,
accident cost, loss of production,
scrap and waste dimana secara total
pun tenaga kerja dapat menurun
dalam hal motivasi termasuk sikap
terhadap bisnis. PHK yang
dilaksanakan tanpa perlakuan
resfectful akan mengecewakan
tenaga kerja bersangkutan dan yang
masih aktif bekerja. Mereka
memprediksi kemudian hari
memperoleh perlakuan yang sama.
Siapa orangnya yang rela seperti
permen karet.
Berpandangan dari alasan PHK, PHK
tampak dalam bentuk attrition,
layoff, atau termination. Attrition
terjadi karena ha yangbersifat
normal dari tenaga kerja sendiri
seperti pengunduran diri, pension
dini, atau karena meninggal dunia.
Mendorong pengunduran diri sering
dilakukan bisnis dalam kondisi
kelebihan tenaga kerja, tuntutan
efisiensi mendesak pension dini. Dan
meninggal dunia memerukan
persiapan biaya yang peraturannya
sudah dikomunikasikan kepada
tenaga kerja. Berbeda dengan
attrition, layoff terjadi karena
perkembangan ekonomi dan bisnis
kurang menguntungkan misalnya
situasi pasar yang lemah
menurunkan produksi. Layoff dapat
bersifat sementara sampai keadaan
pulih maupun bersifat permanen
yang berarti tenaga kerja tidak
kembai bekerja. Tentang layoff,
seringkali bisnis menjadikannya
sebagai tindakan dalam hal
pengunduran diri sulit digalakan
dengan tambahan pesangon berupa
supplemental unemployment
benefit. Juga layoff digunakan ketika
perampingan sesuai kebijakan
peremajaan tenaga kerja yang
terlebih dahulu ditawarkan kepada
tenaga kerja senior. Lain layoff, lain
juga termination. Termination terjadi
karena kekeliruan tenaga kerja
maupun kondisi bisnis seperti tidak
disiplin, tidak produktif. Akan tetapi,
bisnis sering merasa enggan dari
keharusan membayar pesangon
dan outplacement assistance. Pada
umumnya pesangon dan atau
outplacement assistance hanya
diberikan kepada tenaga kerja yang
telah melaksanakan tugasnya
dengan baik dan di PHK. Namun,
demikian juga bila bisnis tidak
mengabaikan tanggung jawab sosial
dan etika berbisnis.
tentang topik ini, sebenarnya PHK
meresahkan kedua beah
pihak ,yaitu, bisnis dan tenaga kerja.
Tenaga kerja sudah tentu kehilangan
pekerjaan dan pendapatan.
Sedangkan pada sisi bisnis
terungkap sebagai biaya. Biaya
tersebut, merupakan biaya
pergantian tenaga kerja yang
meliputi: hiring cost, training cost,
accident cost, loss of production,
scrap and waste dimana secara total
pun tenaga kerja dapat menurun
dalam hal motivasi termasuk sikap
terhadap bisnis. PHK yang
dilaksanakan tanpa perlakuan
resfectful akan mengecewakan
tenaga kerja bersangkutan dan yang
masih aktif bekerja. Mereka
memprediksi kemudian hari
memperoleh perlakuan yang sama.
Siapa orangnya yang rela seperti
permen karet.
Berpandangan dari alasan PHK, PHK
tampak dalam bentuk attrition,
layoff, atau termination. Attrition
terjadi karena ha yangbersifat
normal dari tenaga kerja sendiri
seperti pengunduran diri, pension
dini, atau karena meninggal dunia.
Mendorong pengunduran diri sering
dilakukan bisnis dalam kondisi
kelebihan tenaga kerja, tuntutan
efisiensi mendesak pension dini. Dan
meninggal dunia memerukan
persiapan biaya yang peraturannya
sudah dikomunikasikan kepada
tenaga kerja. Berbeda dengan
attrition, layoff terjadi karena
perkembangan ekonomi dan bisnis
kurang menguntungkan misalnya
situasi pasar yang lemah
menurunkan produksi. Layoff dapat
bersifat sementara sampai keadaan
pulih maupun bersifat permanen
yang berarti tenaga kerja tidak
kembai bekerja. Tentang layoff,
seringkali bisnis menjadikannya
sebagai tindakan dalam hal
pengunduran diri sulit digalakan
dengan tambahan pesangon berupa
supplemental unemployment
benefit. Juga layoff digunakan ketika
perampingan sesuai kebijakan
peremajaan tenaga kerja yang
terlebih dahulu ditawarkan kepada
tenaga kerja senior. Lain layoff, lain
juga termination. Termination terjadi
karena kekeliruan tenaga kerja
maupun kondisi bisnis seperti tidak
disiplin, tidak produktif. Akan tetapi,
bisnis sering merasa enggan dari
keharusan membayar pesangon
dan outplacement assistance. Pada
umumnya pesangon dan atau
outplacement assistance hanya
diberikan kepada tenaga kerja yang
telah melaksanakan tugasnya
dengan baik dan di PHK. Namun,
demikian juga bila bisnis tidak
mengabaikan tanggung jawab sosial
dan etika berbisnis.
Langganan:
Postingan (Atom)