Powered By Blogger

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungannya

Silahkan cari apa yang anda perlukan,untuk sementara ini hanya tulisan yang bisa saya berikan pada para pengunjung

Rabu, 23 Juni 2010

PERLINDUNGAN TERHADAP TINDAKAN PHK SEPIHAK

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bekerja bagi seseorang
merupakan perwujudan dari
keberadaannya maupun merupakan
nilai pribadi dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga bekerja
merupakan hak bagi setiap warga
negara tanpa perkecualian atau
diskriminasi untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Hal ini pula
ditegaskan dalam pasal 27 ayat 2
UUD 1945 yang menyebuttkan
bahwa tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan
penghidupan bagi kemanusiaan. Hal
ini berarti menjadi tugas kita
bersama untuk mengusahakan agar
setiap orang yang mau dan mampu
bekerja dapat mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan yang
diinginkannya dan setiap orang
yang bekerja dapat memperoleh
penghasilan yang cukup untuk
hidup layak, bagi tenaga kerjanya
sendiri maupun keluarganya.
Tugas ini kiranya tidak
mudah, karena jumlah penduduk
indonesia yang semakin besar, daya
serap ekonomi yang terbatas,
tingkat pendidikan dan produktifitas
yang rendah serta penyebaran
penduduk dan angkatan kerja yang
tidak merata. Oleh karenanya
mencari pekerjaan merupakan hal
yang dapat dikatakan sulit bagi
sebagian orang yang berpendidikan
biasa-biasa saja atau lulusan SMU,
sehingga apabila ia sudah bekerja di
suatu perusahaan lalu terkena
Pemutusan Hubungan Kerja tentu
akan menambah masalah
pengangguran di Negeri ini.
Permasalahan tersebut yang akan
coba dibahas dalam kaitan perlunya
perlindungan bagi tenaga kerja
apabila terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak dari
pihak perusahaan, selain itu
pemutusan hubungan kerja dalam
sisi Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997.
II. PEMBAHASAN
Seperti telah kita ketahui
bahwa kasus Pemutusan Hubungan
Kerja yang melibatkan pihak
pengusaha dengan pihak tenaga
kerja banyak terjadi di berbagai
perusahaan. Apabila Pemutusan
Hubungan Kerja sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku maka
hal itu bukan merupakan suatu
masalah, misalnya saja pada awal
krisis moneter terjadi perampingan
tenaga kerja pada perusahaan
sehingga banyak tenaga kerja yang
terkena Pemutusan Hubungan
Kerja, hal ini dimaksudkan agar
pengeluaran perusahaan tidak terlalu
besar karena harga kebutuhan
mengalami kenaikan akibat krisis
moneter itu.
Yang menjadi masalah
adalah apabila terjadi Pemutusan
Hubungan Kerja secara sepihak oleh
perusahaan terhadap tenaga
kerjanya. Tentu tindakan ini
merupakan tindakan yang semena-
mena dan sangat merugikan pihak
tenaga kerja karena dengan adanya
pemutusan tersebut mereka akan
kehilangan pekerjaannya. Ditambah
lagi apabila Pemutusan Hubungan
Kerja tersebut tidak mempunyai
alasan yang kuat atau alasan
pembenaran Pemutusan Hubungan
Kerja.
Sebelum melangkah lebih
jauh dalam membicarakan
perlindungan tenaga kerja apabila
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
secara sepihak, maka perlu diketahui
terlebih dahulu pengertian dari
Pemutusan Hubungan Kerja itu
sendiri. Menurut Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1007 pasal 1 angka
19 Pemutusan Hubungan Kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban pekerja dan pengusaha.
Berdasarkan pengertian
tersebut semakin jelas bahwa pihak
tenaga kerja tidak mempunyai hak
dan kewajiban terhadap pengusaha,
begitupun sebaliknya. Sebenarnya
Pemutusan Hubungan Kerja tidak
dapat dilakukan pihak perusahaan
tanpa disertai adanya alasan-alasan
pembenaran mengenai pemutusan
hubungan kerja. Adapun alasan-
alasan pembenaran tersebut adalah:
· Alasan-alasan yang berhubungan atau
yang melekat pada pribadi buruh.
Misalnya tidak cakap dan tidak
mampu secara badaniyah maupun
rohaniah, tidak ada keahlian, tidak
mampu menerima latihan yang
diperlukan bagi pekerjaannya dan
sakit tertentu.
· Alasan-alasan yang berhubungan
dengan tingkah laku buruh. Misalnya
tidak memenuhi kewajibannya, tidak
dapat dipercaya, melanggar disiplin,
dan sebagainya.
· Alasan-alasan yang berkenaan dengan
jalannya perusahaan, artinya demi
kelangsungan jalannya perusahaan.
Misalnya tidak adanya pesanan atau
bahan baku, menurunnya hasil
produksi.
Berdasarkan alasan
pembenaran Pemutusan Hubungan
Kerja diatas dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa ada tidaknya
pemutusan hubungan kerja
tergantung pada sisi tenaga kerja
atau pekerja itu sendiri ditambah
dengan alasan yang bersifat “
memaksa” yang berhubungan
dengan kelangsungan hidup
perusahaan . Misalnya mengenai
penyelamatan perusahaan yaitu
usaha peningkatan efisiensi dari
penghematan antara lain dengan:
· Mengurangi shift
· Membatasi / menghapuskan kerja
lembur
· Mengurangi jam kerja
· Peningkatan usaha-usaha, peningkatan
efisiensi dan penghematan lainnya
seperti mempercepat pensiun dan
sebagainya.
· Meliburkan karyawan secara bergilir atau
merumahkan karyawan untuk
sementara waktu
Apabila ada perusahaan
yang memberhentikan tenaga
kerjanya dengan alasan rasa tidak
senang, terutama lebih difokuskan
pada masalah pribadi antara atasan
dengan bawahan maka hal itu tidak
dapat dibenarkan baik itu oleh
aturan-aturan yang berlaku pada
perusahaan maupun Undang-
Undang. Namun biasanya
kenyataan yang ada masih banyak
tenaga kerja yang diperlakukan
semena-mena dengan diputus
hubungan kerjanya secara sepihak,
memang dalam surat Pemutusan
Hubungan Kerja ditulis atau
dikatakan mereka/ tenaga kerja
melakukan tindakan indisipliner
seperti tidak sopan terhadap tamu,
suka melawan atasan dan lain-lain
padahal mereka saama sekali tidak
merasa demikian hal itu terbukti
dengan tidak adanya surat teguran
yang dialamatkan pada pekerja yang
akan di-PHK. Mungkin ini salah satu
contoh kasus pemutusan hubungan
kerja yang dilakukan oleh
pengusaha terhadap tenaga
kerjanya yang dapat digolongkan
dalam pemberhentian tidak layak
karena alasan pemberhentiannya
terkesan dicari-cari atau alasan yang
palsu.
Sebenarnya masih
banyak kasus-kasus yang terjadi
mengenai pemberhentian secara
sepihak ini. Maka dari itu diperlukan
ketentuan-ketentuan tentang
pemberhentian tenaga kerja agar
tidak hanya terbatas pada
meringankan penderitaan tenaga
kerja yang telah atau akan
diberhentikan, tetapi juga
membatasi atau mengekang
kebebasan majikan untuk
melakukan pemberhentian.
Sehingga ditetapkan suatu asas
bahwa “setiap pemberhentian harus
berdasarkan alasan yang
membenarkan pemberhentian itu
atau dengan kata lain seorang
tenaga kerja yang diberhentikan
berhak untuk menentang
pemberhentiannya atas dasar
bahwa pemberhentiannya itu tidak
beralasan, yaitu melalui cara
pengaduan ”.
Mengenai Pemutusan
Hubungan Kerja yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1997 bahwa sebenarnya antara
pengusaha, pekerja/ tenaga kerja,
dan atau serikat pekerja harus
melakukan upaya untuk
menghindari terjadinya pemutusan
hubungan kerja. Berarti dalam
ketentuan Undang-Undang ini hak
tenaga kerja ini sangat dijamin
karena dikhawatirkan apabila terjadi
pemecatan atau pemberhentian
akan menambah masalah sosial
seperti jumlah pengangguran yang
akan meningkat. Mengenai hal ini
ditegaskan dalam pasal 85 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1997
yang berbunyi:
“Pengusaha, pekerja, dan atau
serikat pekerja harus melakukan
upaya untuk menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja ”.
Selain upaya untuk
mencegah terjadinya pemutusan
hubungan kerja dalam Undang-
Undang ini dikatakan pada pasal 86
bahwa pengusaha dilarang
melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerjanya dalam hal:
a. Pekerja berhalangan masuk kerja karena
sakit menurut keterangan dokter
selama waktu tidak melampaui 12
(dua belas) bulan secara terus-
menerus.
b. Pekerja berhalangan menjalankan
pekerjaan karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai
dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pekerja menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya.
d. Pekerja menikah, hamil,
melahirkan, atau gugur kandungan.
e. Pekerja mempunyai pertalian darah dan
atau ikatan perkawinan dengan
pekerja lainnya di dalam suatu
perusahaan, kecuali telah diatur
dalam kesepakatan kerja bersama
atau peraturan perusahaan.
f. Pekerja mendirikan, menjadi
anggota, dan atau menjadi
pengurus serikat pekerja.
Apabila setelah diadakan
segala upaya agar tidak terjadi
pemutusan hubungan kerja maka
pengusaha harus
memusyawarahkan maksudnya
untuk memutuskan hubungan kerja
dengan serikat pekerja atau dengan
pekerja yang bersangkutan dalam
hal pekerja tidak menjadi anggota
serikat pekerja.
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasar uraian diatas
maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa:
1. Masalah yang terpenting dalam
masalah ketenaga kerjaan adalah
soal pemutusan hubungan kerja.
Berakhirnya hubungan kerja bagi
tenaga kerja berarti kehilangan mata
pencarian yang berarti pula
permulaan masa pengangguran
dengan segala akibatnya, sehingga
untuk menjamin kepastian dan
ketentraman hidup kaum tenaga
kerja seharusnya tidak ada
pemutusan hubungan kerja. Akan
tetapi dalam kenyataannya
membuktikan bahwa pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dicegah
seluruhnya.
2. Di Indonesia masih banyak terjadi
pemutusan hubungan kerja secara
sepihak oleh para pengusaha dan
yang lebih memprihatinkan adalah
terkadang alasan pemberhentian
terkesan dibuat-buat dan tanpa
adanya alasan pembenaran
mengenai pemutusan hubungan
kerja. Disinilah perlunya ditetapkan
suatu asas bahwa setiap
pemberhentian harus berdasarkan
alasan pembenaran pemberhentian
itu atau dengan kata lain seorang
tenaga kerja yang diberhentikan
berhak untuk menentang
pemberhentiannya atas dasar
bahwa pemberhentiannya itu tidak
beralasan.
3. Didalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1997 mengenai pemutusan
hubungan kerja terdapat tata
caranya yaitu mulai dari upaya
pencegahan agar tidak sampai
terjadi pemutusan hubungan kerja
dan apabila upaya tersebut
mengalami kebuntuan maka
pengusaha harus
memusyawarahkan maksudnya
baik itu lewat serikat pekerja
maupun lewat pekerja yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Sendjun H. Manulang, SH, Pokok-
Pokok Hukum Ketenagakerjaan di
Indonesia, Rhineka Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 1997, tentang
Ketenagakerjaan.
Aliliawati Muljono, SH, CN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar