Powered By Blogger

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungannya

Silahkan cari apa yang anda perlukan,untuk sementara ini hanya tulisan yang bisa saya berikan pada para pengunjung

Minggu, 27 Juni 2010

KESEJAHTERAAN BURUH, KAPAN[?]

Oleh : AGUNG DWI ASTIKA, SH
Direktur YLBHI-LBH bali
“Kita tak ingin menjadi negara
yang menindas hak hidup buruh,
anak dan melukai martabat
manusia.Kita tak mau jadi
negara yang hanya berpikir
untuk menaikan pendapatan,kita
mesti jadi negara yang
memprioritaskan kehidupan
rakyat”
(Hugo Chaves, Presiden
Venezuela)
Pengantar
Pemerintah boleh saja secara
terbuka mengatakan bahwa negara
ini mengalami kemajuan dalam
dunia investasi. dengan
disahkannya UU Penanaman Modal
Asing (UU PMA), yang konon
dampaknya akan mensejahterakan
rakyat. Apa ia ?
Justru klaim negara ini akan runtuh.
bila kita periksa UU PMA/Investasi,
yang justru hanya memberikan
kesempatan pada Pelaku pasar/
investor/pengusaha untuk
“berusaha” yang seluas-luasnya.
Kesempatan “berusaha” yang luas
ini tentunya mengancam budaya
lokal bila diterjemahkan salah oleh
pengusaha apa lagi belum terbentuk
peraturan pelaksanaannya.Ini Bukti
bahwa negara masih berpihak pada
pengusaha/pemodal dengan
memeberikan fasilitas-fasilitas
“kemewahan” yang kesekian kali
setelah sebelumnya disahkannya
tiga (3) paket UU Ketenagakerjaan/
Perburuhan (UU.No 21/2000 tentang
serikat buruh/serikat pekerja, UU.No
13/2003 ttg ketenagakerjaan, dan
UU.No. 2/2004 ttg PPHI).
Apa yang dirasakan sebagai
privelege pengusaha ini justru
bertolak belakang dengan apa yang
dirasakan oleh buruh/pekerja.
Dimana diterbitkannya regulasi-
regulasi ini telah menghilangkan
sebuah “kepastian” terhadap kaum
buruh/pekerja. Harusnya
pemerintah berhati-hati dengan
dalih dari pengusaha : “...bahwa
pengusaha itu menciptakan
lapangan kerja sehingga dapat
mempekerjakan buruh dan
mengurangi angka pengangguran”.
Dalih ini perlu disikapi sebagai alasan
pengusaha untuk mendapatkan
fasilitas dari pemerintah/negara,
justru harus diingat sudah
merupakan konsekuensi logis ketika
orang ingin mendapat keuntungan/
laba besar dengan membuat
sebuah usaha maka ia harus
mempekerjakan orang-orang atau
buruh. Untuk mendapatkan
keuntungannya maka pengeluaran
harus ditekan semaksimal mungkin
termasuk menekan buruh.
Bagaimana dengan kondisi buruh di
Bali?
Kondisi buruh Indonesia tahun 2007
ini sangat suramnya dan
memperihatinkan . Tingginya angka
pencari kerja, membumbungnya
angka pengangguran, maraknya
PHK, minimnya jaminan sosial
terhadap tenaga kerja baik pekerja
tetap maupun pekerja kontrak
merupakan beberapa fakta yang
telah mewarnai kehidupan buruh
tahun 2007
Kondisi ini dirasakan juga dalam
dunia perburuhan di Bali, banyak
faktor penyebab untuk itu Pertama,
belum meningkatnya angka
kunjungan wisatawan. Kedua, kalah
bersaingnya buruh/pekerja
domestik dengan buruh/pekerja
asingnya. Ketiga, belum
konsistennya negara menjalankan
tiga paket UU ketenagakerjaan
yaitu:UU.No 21/2000 tentang serikat
buruh/serikat pekerja, UU.No
13/2003 tentang ketenagakerjaan,
dan UU.No. 2/2004 tentang PPHI.
Keempat, belum solid-nya buruh/
pekerja dalam memperjuangkan
kepentingan bersama.
Kelima,semakin hegemoniknya
pasar (pelaku usaha/investor) dalam
mempengaruhi hidup bersama (UU
PMA).
Harus diakui bahwa industri
pariwisata masih menjadi tulang
punggung Bali. Hotel, restaurant,
travel, cargo, jasa, niaga, hiburan,
handycraft, garment serta niaga
menjadi simpul industri dan
menjadi pemasok tenaga kerja
terbesar. Sehingga buruh/pekerja di
sektor-sektor vital ini menjadi
korban paling pertama ketika terjadi
peristiwa bom Bali I dan II beberapa
tahun lalu. Hingga kini
pemulihannyapun masih
membutuhkan jangka waktu yang
panjang. Hal ini terjadi secara
menyeluruh dari Kabupaten
Jembrana, Buleleng, Gianyar,
Karangasem, Badung hingga
Kotamadya Denpasar.
Dampak penting dari keterpurukan
kesejahteraan buruh/pekerja telah
menyebabkan
Pertama, rendahnya upah
minimum propinsi/kota/kabupaten
yang tak memenuhi standar
kebutuhan hidup layak seperti yang
tertuang dalam Permenakertrans,
No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang
komponen dan pelaksanaan
tahapan pencapaian kebutuhan
hidup layak (KHL).
Kedua, berkurangnya hak-hak yang
diterima buruh/pekerja juga
jaminan atas pekerjaan akibat trend
perubahan status dari pekerja tetap
menjadi pekerja kontrak (out
sourching).
Ketiga,perpindahan kepemilikan
beberapa perusahaan di Bali yang
praktis akan meminimalisir buruh/
pekerja yang dipandang tak
profesional dan berkompeten.
Keempat,menguatnya arus gejala
kriminalisasi buruh/pekerja, dimana
masalah buruh/pekerja dalam
perusahan di larikan ke hukum
pidana meniadakan paket UU
tentang perburuhan.
Data dinas tenaga kerja Propinsi Bali
tahun 2004; menyebutkan jumlah
pengangguran di Bali, mencapai
89.890 orang. Di bulan November
tahun 2005 tingkat rata-rata pencari
kerja sebanyak 29.555 orang,
sementara lowongan kerja yang
tersedia hanya 250 buah. Bisa
dikatakan akibat tingginya biaya
hidup jumlah pencari pekerja
meningkat tajam. Tetapi ironinya tak
diimbangi oleh jumlah lowongan
pekerjaan yang tersedia. Di bulan
Agustus 2006 terdapat 208.567
orang buruh/pekerja yang
tertampung di 5.083 buah
perusahan (kecil, menengah dan
besar). Selain itu jumlah PHK atau
“terpaksa” melakukan PHK secara
massal signifikant ! Seperti yang
menimpa 214 buruh/pekerja Hotel
Bali Cliff, 26 buruh/pekerja Hotel
Oval Legian, 36 buruh/pekerja Hotel
Bali Sani dan 50 buruh/pekerja Villa
Rumah Manis. Belum terhitung
yang di PHK secara personal.
Pelanggaran Hak Buruh adalah
Pelanggaran HAM
Pemerintah RI selalu mengatakan
bahwa negara ini telah mengalami
kemajuan dalam upaya penegakkan
HAM. Konon, hal ini dibuktikan
dengan diratifikasinya kovenan hak
sipil-politik (sipol) dan kovenan hak
ekonomi, sosial, budaya (ecosob)
pada tahun 2004. Dua (2) kovenan
ini resmi diakui dalam khasanah
hukum positif RI. Dua kovenan ini
juga merupakan kovenan yang
paling diakui ke-“universalan”-nya di
kancah pergaulan negara-negara
dunia. Namun, bagaimana dengan
prakteknya
Dalam kovenan Hak Ekonomi Sosial
Budaya diatur dengan tegas
Mengenai hak-hak buruh dalam
pasal 6 sampai dengan pasal 9
Kovenan Hak Ekonomi Sosial
Budaya yang intinya menyatakan
bahwa :
1. Pasal 6 tentang bahwa negara
menjamin hak setiap orang untuk
mencari nafkah dengan bebas
berdasarkan keinginannya.
2. Pasal 7 tentang syarat-syarat
perburuhan yang adil dan
menguntungkan.
3. Pasal 8 mengatur tentang bahwa
negara wajib mengakui hak-hak
setiap orang untuk membentuk dan
menjadi anggota serikat pekerja.
4. Dan pasal 9 bahwa negara
mengatur tentang keharusan
mengakui hak jaminan sosial pada
setiap orang.
Dengan demikian sangat jelas
bahwa negara wajib melindungi,
menghormati dan melakukan
pemenuhan terhadap hak-hak setiap
orang dalam masalah perburuhan.
Pelanggaran HAM justru terjadi
ketika negara mengabaikan
kewajibannya terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM). Sejauh ini belum
terlihat negara berpihak kepada
kepentingan kaum buruh, tiga paket
UU perburuhan yakni UU No.21
tahun 2000 tentang Serikat Pekerja,
UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagkerjaan dan UU No 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. 3
paket UU tenaga kerja ini justru lahir
dari kesepakatan pemerintah RI
dengan IMF
Pada tanggal 15 Januari 1998, IMF
(International Monetery Fund)
mendesak pemerintah RI untuk
menandatangani Nota
Kesepahaman (Letter of Intent)
tentang kebijakan sektor
perburuhan. Sehingga, tak bisa
dipungkiri 3 paket UU tersebut
merupakan kesepakatan RI dengan
kapitalisme global. Usulan IMF
adalah penataan ulang sistem,
prosedur, privatisasi
ketenagakerjaan dan penyediaan
lahan baru untuk industrialisasi.
Rekomendasi
Untuk mewujudkan kesejahteraan
buruh/pekerja maka hal yang mesti
dilakukan yaitu
Pertama, melakukan kerja-kerja
penguatan pengetahuan dan
ketrampilan dari buruh/pekerja dan
atau pengurus buruh/pekerja
tentang mekanisme yang diatur
dalam 3 paket UU
Ketenagakerjaan.Dimana juga
memberikan ruang bagi semua
pihak (LSM,Mahasiswa,Petani Dsb-
nya) untuk intens melakukan
pemantauan dan pengawasan
terhadap tata kelola dari politik
ketenagakerjaan/perburuhan.
Kedua, melakukan kontrol
demokrasi terhadap pelaku pasar
(investor,dll).Sebab salah satu akar
dari permasalahan utama dari
Republik ini adalah tak dikenanya
kontrol demokrasi yang ketat dalam
semangat HAM terhadap pelaku
pasar. Pelaku pasar selalu saja ber-
alibi bahwa urusan mereka adalah
urusan privat, namun ironinya
urusan yang mereka katakan
sebagai privat telah berdampak
urusan hidup bersama.
Ketiga, salah satu peran strategis
pemerintah adalah menjamin hak-
hak dasar buruh dan menjamin
kesamaan kesempatan serta
perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun yang diatur dalam
undang-undang dan peraturan
yang lain yang sah. Sehingga
pemerintah diminta untuk konsisten
menerapkan Permenakertrans,
No.PER-17/MEN/VIII/2005 tentang
Komponen dan Pelaksanaan
Tahapan Pencapaian Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) sebagai
pengganti Kepmen yang lama baru
di tetapkan tanggal 26 Agustus
2005.Meski masih mengandung
banyak kelemahan namun Kepmen
yang baru ini lebih detail
mengklasifikasikan kebutuhan hidup
buruh/pekerja.
Keempat, Pemerintah harus berani
melakukan perubahan paradigma
politik pengupahan dengan cara:
1) melalui perundingan bersama di
tingkat perusahan. Pendekatan ini
sebaiknya diberlakukan untuk
buruh/pekerja yang sudah menjadi
anggota serikat buruh tingkat
perusahan. Juga diberlakukan bagi
kelompok-kelompok usaha yang
beroperasi di tingkat daerah
maupun di tingkat nasional (seperti
industri perbankan nasional,
kelompok-kelompok usaha yang
berada di bawah naungan satu atap,
dan lain-lain). Hal ini melalui
mekanisme perundingan bipartit
secara langsung antara serikat
buruh di perusahan dengan
pengusaha untuk menentukan
tingkat upah.
2) penetapan upah minimum
berfungsi sebagai jaring pengaman
sosial (upah terendah untuk
bertahan hidup) untuk melindungi
buruh yang upahnya paling rendah,
bukan untuk menggantikan
negosiasi upah antara serikat
pekerja/buruh dan pengusaha. Hal
ini dilakukan melalui dewan
pengupahan nasional. Dimana
sebaiknya diberlakukan bagi buruh
yang belum menjadi anggota
serikat buruh/pekerja. Juga bagi
buruh yang bekerja di sektor
informal dimana buruh yang
bekerja sebagai buruh paruh waktu
(part-timers), pembantu rumah
tangga, atau yang diperkerjakan di
suatu perusahan yang
mempekerjakan karyawan kurang
dari 10 orang atau yang bekerja
dengan perusahan yang tidak
termasuk dalam sektor in-formal.
Epilog
Kiranya ini yang bisa kami sajikan
sebagai sebuah renungan dalam
memperingati hari buruh tahun
2007 ini, hak tidak di beri tapi harus
direbut
Selamat hari buruh, Buruh bersatu
tak bisa dikalahkan
tulisan ini dimuat di harian Koran
Bali tanggal 1 Mei 2007
Entry by : LBH Bali 2/May/2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar