Powered By Blogger

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungannya

Silahkan cari apa yang anda perlukan,untuk sementara ini hanya tulisan yang bisa saya berikan pada para pengunjung

Kamis, 17 Juni 2010

Menyoroti Problem Ketenagakerjaan Dewasa Ini(bag2)

Problem Gaji / UMR

Salah satu problem yang
langsung menyentuh kaum buruh
adalah rendahnya atau tidak
sesuainya pendapatan (gaji) yang
diperoleh dengan tuntutan untukÂ
memenuhi kebutuhan hidupnya
beserta tanggungannya. Faktor
ini , yakni kebutuhan hidup
semakin meningkat, sementaraÂ
gaji yang diterima relatif tetap,
menjadi salah satu pendorong
gerak protes kaum buruh.
Sementara itu dalam
sistem ekonomi Kapitalis,
rendahnya gaji buruh justu
menjadi penarik bagi para investor
asing. Termasuk pemerintah,
untuk kepentingan peningkatan
pendapatan pemerintah (bukan
rakyat), justru memelihara kondisi
seperti ini. Kondisi ini
menyebabkan pihak pemerintah
lebih sering memihak ’sang
investor’ , dibanding dengan
buruh (yang merupakan rakyatnya
sendiri ) ketika terjadi krisis
perburuhan. Rendahnya gaji juga
berhubungan dengan rendahnya
kualitas SDM. Persoalannya
bagaimana, SDM bisa meningkat
kalau biaya pendidikan mahal ?
Untuk membantu
mengatasi problem gaji,
pemerintah biasanyamembuat
‘batas minimal gaji’ yang harus
dibayarkan oleh perusahaan
kepada pekerjanya, yang
kemudian dikenal dengan istilah
Upah Minimum Regional (UMR)
atau Upah MinimumDaerah (UMD)
atau Upah Minimum Kota (UMK)
yang mengacu pada UU Otonomi
Daerah No. 22 Tahun 1999.
Intervensi pemerintah dalam hal ini
ditujukan untuk menghilangkan
kesan eksploitasi pemilik usaha
kepada buruh karena membayar
dibawah standar hidupnya. Nilai
UMR, UMD dan UMK inibiasanya
dihitung bersama berbagai pihak
yang merujuk kepada Kebutuhan
Fisik Minimum Keluarga (KFM),
Kebutuhan Hidup Minimum (KHM)
atau kondisi lain di daerah yang
bersangkutan.
Penetapan UMR sendiri
sebenarnya ’sangat bermasalah’
dilihat dari realitas terbentuknya
kesepakatan upah dari pihak
pengusaha dan buruh. Dalam
kondisi normal dan dalam sudut
pandang keadilan ekonomi,
seharusnya nilai upah sebanding
dengan besarnya peran jasa buruh
dalam mewujudkan hasil usaha
dari perusahaan yang
bersangkutan. Penetapan UMR dan
UMD di satu sisi dimanfaatkan
buruh-buruh ‘malas’ untuk
memaksa pengusaha memberi
gaji minimal, meski perannya
dalam kerja perusahaan sangat
sedikit (meskipun ini sangat jarang
terjadi) . Di sisi lain UMR dan UMD
kerap digunakan pengusaha untuk
menekan besaran gaji agar tidak
terlalu tinggi, meskipun si buruh
telah mengorbankan tenaga dan
jam kerjanya yang sangat banyak
dalam proses produksi suatu
perusahaan. Bila diteliti lebih jauh,
penetapan UMR dan UMD ternyata
tidak serta merta menghilangkanÂ
problem gaji/ upah ini. Hal ini
terjadi setidaknya disebabkan oleh :
1. Pihak pekerja, yang
mayoritasnya berkualitas SDM
rendah berada dalam kuantitas
yang banyak sehingga nyaris
tidak memiliki posisi tawar
yang cukup dalam
menetapkan gaji
yangdiinginkan. Walhasil
besaran gaji hanya ditentukan
oleh pihak majikan, dan kaum
buruh berada pada posisiÂ
’sulitmenolak’.
2. Pihak majikan sendiri sering
merasa keberatan dengan
batasan UMR. Mengingat
meskipun pekerja tersebut
bekerja sidikit dan mudah,
pengusaha tetap
harusmembayar sesuai batas
tersebut.
3. Posisi tawar yang rendah dari
para buruh semakin
memprihatinkan dengan tidak
adanya pembinaan dan
peningkatan kualitas buruh
oleh pemerintah, baik terhadap
kualitas keterampilan dan
pengetahuan para buruh
terhadap berbagai regulasi
perburuhan.
4. Kebutuhan hidup yang
memang juga bervariasi dan
semakin bertambah, tetap saja
tidak mampu dipenuhi dengan
gaji sesuai UMR. Pangkal dari
masalah ini adalah ‘karena gaji/
upah hanya satu-satunya
sumber pemasukan dalam
memenuhi berbagai
kebutuhan dasar kehidupan
masyarakat’.
Â
Solusi terhadap problema
UMR dan UMD ini tentu saja harus
terus diupayakan dan diharapkan
mampu membangun kondisi se-
ideal mungkin. Untuk tujuan itu,
setidaknya ada dua kondisi
mendesak yang harus
diwujudkan, yaitu :
1. Kondisi normal (persaingan
sempurna) yang mampu
menyetarakan posisi buruh-
pengusaha sehingga
penentuan besarnya upah
disepakati oleh kedua pihak
yang besarnya ditentukan oleh
besaran peran serta kerja
pihak buruh terhadap jalannya
usaha perusahaan yang
bersangkutan. Kondisi seperti
ini bisa terwujud jika kualitas
SDM buruh memadai sesuai
kebutuhan, dan besarnya
pasar tenaga kerja seimbang.
Kondisi seperti ini akan
mampu mewujudkan ‘akad
ijaroh (perjanjian kerja) yang
dalam pandangan Syariat
Islam yang didefinisikan secara
ringkas sebagai “‘Aqdun ‘ala al
manfa’ati bi ‘iwadhin” (Aqad
atas suatu manfaat dengan
imbalan/ upah).
2. Mewujudkan kondisi ideal
dimana seluruh rakyat (bukan
hanya kaum buruh) memiliki
pendapatan lain untuk
memenuhi kebutuhan dasar
minimal (haajat asaasiyah)
bagi kehidupannya.
Perwujudan kondisi ini, dalam
pandangan Syariat Islam
menjadi tanggung jawab
utama negara. Dalam Politik
ekonomi Islam, pemerintah
bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan pokok
(primer) rakyat dan
mempermudah kesempatan
untuk kebutuhan tambahan
(sekunder maupun tersier)
Sumber : http://jurnal-ekonomi.org/2004/05/01/menyoroti-problem-ketenagakerjaan-dewasa-ini/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar