oleh: Adi Abu Fatih Â
Pendahuluan
Hampir di semua negara
saat ini, problema ketenagakerjaan
atau perburuhan selalu tumbuh
dan berkembang, baik di negara
maju maupun berkembang, baik
yang menerapkan ideologi
kapitalisme maupun sosialisme.
Hal itu terlihat dari selalu adanya
departemen yang mengurusi
ketenagakerjaan pada setiap
kabinet yang dibentuk. Hanya saja
realitas tiap negara memberikan
beragam problem riil sehingga
terkadang memunculkan berbagai
alternatif solusi. Umumnya, negara
maju berkutat pada problem
ketenagakerjaan yang berkait
dengan ‘mahalnya’ gaji tenaga
kerja, bertambahnya
pengangguran karena mekanisasi
(robotisasi), tenaga kerja ilegal,
serta tuntutan penyempurnaan
status ekonomi, sosial bahkan
politis. Sementara di negara
berkembang umumnya problem
ketenagakerjaan berkait dengan
sempitnya peluang kerja, tingginya
angka penganguran, rendahnya
kemampuan SDM tenaga kerja,
tingkat gaji yang rendah, jaminan
sosial nyaris tidak ada. Belum lagi
perlakuan penguasa yang
merugikan pekerja, sepertiÂ
perlakuan buruk, tindak asusila,
penghinaan, pelecehan seksual,
larangan berjilbab dan beribadah
dll.
Meski terlihat adanya ‘niat
baik’ dari setiap pemerintahan
untuk menyelesaikan berbagai
problema ketenagakerjaan ini,
namun dalam kenyataannya
seluruh kebijakan tersebut tidak
menyentuh problema mendasar
dari berbagai krisis tersebut. Tidak
heran kalau solusi yang
diberikan nyaris hanya sebagai
upaya tambal sulam, yang tidak
menyelesaikan persoalan secara
mendasar, menyeluruh dan
tuntas. Solusi seperti ini miripÂ
pemadaman api saat terjadi
kebakaran, tapi membiarkan
sumber kebakaran terus ada dan
siap meledak setiap saat. Di
Indonesia , selama masa Orde
Baru hingga saat ini, kondisi buruh
sangat memprihatinkan. Dengan
alasan mengejar angka
pertumbuhan pembangunan,
buruh mengalami dehumanisasi
secara sistematis.
Mekanisme Hubungan
Industrial Pancasila (HIP) yang
diterapkan selama ini juga banyak
mengalami kegagalan. HIP yangÂ
menekankan hubungan kemitraan
berazaskan kekeluargaan,
cenderung untuk mengikat
kesetiaan buruh dengan dalih
kesetiaan pada ideologi. PadaÂ
pelaksanaannya HIP justeru telah
mengebiri berbagai hak kaum
buruh, lebih memenangkan
kepentingan pengusaha.
Walhasil, berbagai
problem yang menyangkut hak-
hak kaum buruh tidak terselesaikan
dengan baik. Lebih ironis lagi,Â
pemerintah dengan aparat
keamannya bertindak represif
menekan gerakan buruh untuk
meraih hak-haknya.
Bagi buruh sendiri,Â
melakukan unjuk rasa atau
pemogokan massal menjadi
pilihan yang sering dilakukanÂ
untuk menarik perhatian
terhadap realitas kehidupan kaum
buruh yang sarat kesulitan. Dalam
tahun 2002, (hingga tengah tahun
2002 ini) Ditjen Binawas Depnaker
mencatat sekitar 600 kali
pemogokan buruh dan ribuan kali
demontrasi buruh. Kondisi seperti
ini tentunya, bukanlah kondisi
yang kondusif untuk bekerja dan
berusaha.
Bila pola hubungan buruh
dan pemilik usaha yang
seharusnya setara dalam format
simbiosis mutualisma (saling
menguntungkan) terus berubah
menjadi hubungan budak-
majikan. Tampak dari tindakan
penguasa yang semena-mena
terhadap buruh. Bila hal ini terus
terjadi, tidak tertutupÂ
kemungkinan muncul kondisi
seperti perburuhan di Eropa dan
Amerika abad ke-18 yang
kemudian melahirkan demontrasi
berbuntut kerusuhan besar tahun
1886 (peristiwa ini kemudian
mengilhami lahirnya Hari Buruh
Internasional tanggal 1 Mei)
Memang persoalan buruh
merupakan problem
multidimensional. Banyak faktor
yang mempengaruhi munculnya
problem ini, seperti ekonomi,
politik, keamanan nasional bahkan
intervensi negara-negara besar .
Karena itu penyelesaiannya
membutuhkan kebijakan
komprehensif dan mendasar.
Karenea persoalannya, merupakan
persoalan yang sistemik, maka
penyelesainnya juga haruslah
lewat perubahan sistem
kehidupan .Â
Dalam kondisi seperti ini,
perubahan sistemik menjadi
alternatif terbaik.MengingatÂ
perburuhan itu sendiri pada
hakekatnya merupakan bagian dari
problematika masyarakat secara
menyeluruh. Artinya, buruh
bukanlah satu-satu komponen
masyarakat yang mengadapi
persoalan tersebut. Hal yang sama
menimpa para guru, pegawai
negeri,birokrat, dosen , tentara ,
polisi dokter, perawat dan para
pekerja lainnya. Artinya jika para
buruh menuntut hak-haknya
untuk hidup lebih layak dan setiap
komponen rakyat juga menuntut
hal serupa (dan inilah yang
sesungguhnya terjadi). Karena
sesungguhnya , setiap individu
rakyat berhak untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Dan hal ini
merupakan tanggung jawab
negara . Berikut ini adalah
beberapa problem yang
berhubungan dengan
ketenagakerjaan
jurnal-ekonomi.org/2004/05/01/menyoroti-problem-ketenagakerjaan-dewasa-ini/
Koneksi internet bisa kita manfaatkan untuk mencari beberapa hal,baik segi positif dan negatif.. Banyak hal yang dapat kita peroleh dari koneksi internet ini,salah satunya ilmu pengetahuan.Dengan semakin pesatnya kemajuan zaman,komputer dan internet sudah bisa di jangkau oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia..maka dari itu kita manfaatkan kesempatan ini untuk menggali ilmu pengetahuan dari dunia maya..."MARI BELAJAR DI DUNIA MAYA"
Kamis, 17 Juni 2010
Menyoroti Problem Ketenagakerjaan Dewasa Ini(bag1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar