Powered By Blogger

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungannya

Silahkan cari apa yang anda perlukan,untuk sementara ini hanya tulisan yang bisa saya berikan pada para pengunjung

Rabu, 28 Juli 2010

MENUJU UPAH YANG LAYAK

Tingkat upah sekarang ini tidak dapat memenuhi kebutuhan riil buruh dan masih jauh dari pengeluaran riil buruh yang disesuaikan dengan tingkat upah yang diterima.Selain rendahnya daya beli upah buruh di Indonesia terhadap kebutuhan hidup,upah buruh Indonesia kerap dijadikan patokan pengupahan dan malah ada yg dijadikan upah maksimum.Upah minimum tidak lagi diberikan kepada buruh dengan masa kerja di bawah satu tahun akan tetapi diberikan pada buruh pada masa kerja belasan tahun.
Persolan ini harus menjadi perhatian pemerintah dan pengusaha,karena akan membawa pengaruh luas terhadap kinerja perusahaan dan tenaga kerja secara keseluruhan.
Rendahnya daya beli upah terhadap kebutuhan hidup, menyebabkan buruh harus melakukan penghematan dan hidup dalam lingkaran hutang.
Kondisi hidup yang demikian dapat dipastikan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas seseorang,apalagi buruh.Kinerja dan produktivitas yang rendah menjadi masalah bagi pengusaha,karena akan berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas perusahaan.

Dalam hal ini perlunya dilakukan peningkatan produktivitas buruh melalui perbaikan upah yg layak dan konsep upah yang layak merupakan gagasan untuk memperbaiki upah yang dapat meningkatkan produktivitas..

SKB Empat Menteri soal UpahBuruh, Negara MengorbankanHak Buruh

Satu lagi kebijakan pemerintah yang
menyengsarakan buruh/pekerja
dikeluarkan. Kebijakan tersebut
tertuang dalam surat keputusan
bersama (SKB) empat menteri yang
ditandatangani oleh Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Menteri
Perindustrian, Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Perdagangan Mari Elka
Pangestu.
Meskipun SKB 4 menteri itu berjudul
“ Pemeliharaan momentum
pertumbuhan ekonomi nasional
dalam mengantisipasi
perkembangan perekonomian
global ”, isi utamanya sebenarnya
mengatur masalah penetapan upah
minimum. SKB empat menteri
tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di
bidang perburuhan.
Dalam pasal 3 SKB tersebut
dijelaskan bahwa gubernur dalam
menetapkan upah minimum
mengupayakan agar tidak melebihi
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pasal itu bertentangan dengan pasal
88 a(4) UU 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan
bahwa pemerintah menetapkan
upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasar kebutuhan hidup layak
dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi.
Selain itu, pengaturan upah
minimum sudah secara tegas diatur
dalam Permenaker No 1/1999 jo
Kepmenakertrans No 226/2000
tentang Upah Minimum.
Penghitungan kebutuhan hidup
layak juga sudah diatur secara
terperinci di dalam Permenakertrans
No 17/2005 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak. Dengan
demikian, pasal 3 SKB ini
bertentangan pula dengan
Permenakertrans yang mengatur
upah minimum tersebut.
Bagaimana mungkin kenaikan upah
minimum tidak boleh melebihi
angka pertumbuhan ekonomi,
sedangkan angka pertumbuhan
ekonomi nasional saat ini jauh di
bawah angka inflasi, apalagi angka
kebutuhan hidup layak.
Bandingkan pertumbuhan ekonomi
nasional 2008 yang kemungkinan
hanya sekitar enam persen.
Sedangkan angka inflasi 2008
berkisar 12 persen. Itu berarti upah
buruh akan senantiasa digerogoti
oleh angka inflasi tersebut.
Upah buruh yang naik di bawah
angka inflasi itu berarti upah riil
buruh turun. Bisa dibayangkan
betapa semakin menderitanya
kehidupan buruh, di mana upah
riilnya semakin lama semakin
berkurang. Upah buruh saat ini saja
masih jauh dari kehidupan yang
layak, apalagi jika dilegalkan untuk
berkurang nilai riilnya.
Sebenarnya, tanpa dilegalkan pun
mengenai penurunan upah riil
buruh tersebut, nilai riil upah
minimum yang selama ini terjadi
sudah terus-menerus turun.
Sebagai perbandingan, pada 1997
upah minimum buruh (di Surabaya)
sebesar 250 ribu rupiah, sedangkan
gaji PNS terendah adalah 150 ribu
rupiah.
Ini artinya bahwa upah buruh
hampir dua kali lipat dari gaji PNS
pada saat itu. Pada 2008 terjadi
sebaliknya, upah minimum buruh
sebesar 805 ribu, sedangkan gaji
PNS golongan terendah telah
mencapai 1,6 juta rupiah. Jadi,
sekarang gaji PNS terendah adalah
hampir dua kali upah minimum
buruh.
Demikian pula makna upah dari segi
upah riil yang diterima buruh. Pada
1997, upah minimum buruh
mampu untuk membeli 350 kg
beras (dengan harga beras 700
rupiah per kilogram pada tahun itu),
sedangkan upah minimum buruh
2008 hanya mampu untuk membeli
beras sebanyak 160 kilogram beras
(dengan harga beras Rp 5.000 per
kg di tahun ini). Ini bermakna, upah
riil buruh terjun bebas berkurang
hampir 50 persen
Argumentasi pemerintah bahwa
upah seharusnya dirundingkan
bersama antara pengusaha dengan
buruh tanpa campur tangan dari
pemerintah merupakan
kemunduran kebijakan. Secara
filosofi, masuknya pemerintah
dalam hubungan industrial adalah
bentuk penguatan terhadap posisi
tawar yang memang tidak
seimbang antara buruh ketika
berhadapan dengan pengusaha.
Dalam konteks perburuhan di
Indonesia, proteksi terhadap buruh
merupakan kewajiban pemerintah
untuk menghindari eksploitasi
pengusaha terhadap buruh, di mana
buruh dalam kondisi tidak berdaya
karena keterbatasan-keterbatasan
buruh.
Sementara itu, jika upah minimum
diserahkan pada pasar tenaga kerja,
bencana liberalisasi hubungan
industrial akan menjadi kenyataan di
republik ini. Liberalisasi hubungan
industrial pasti akan membawa
buruh pada kondisi yang makin
tidak berdaya menghadapi
kapitalisasi pengusaha.
Buruh tidak memiliki banyak pilihan
ketika disodorkan kepadanya sebuah
angka upah yang jauh dari layak.
Sebab, buruh memang
membutuhkan sesuap nasi untuk
menyambung hidup dirinya dan
keluarganya. Pilihan pahit bagi
buruh ialah menerima upah yang
tidak layak untuk dimakan daripada
tidak sama sekali yang akan
mengakibatkan kelaparan.
Krisis Global
Argumentasi lain dari pemerintah
mengenai “asbabunnuzul” SKB
empat menteri tersebut adalah
mengantisipasi krisis global
merupakan argumentasi klasik yang
selalu dikampanyekan ketika
pemerintah akan mengeluarkan
kebijakan baru di bidang
perburuhan.
Logika pemerintah ini berarti bahwa
krisis global tidak boleh
menumbangkan sektor usaha, tetapi
boleh menghabisi kehidupan kaum
buruh. Bukan hanya sekali ini buruh
dijadikan tumbal demi investasi,
melainkan sudah sangat sering.
Ketika kondisi sektor usaha suram
akibat salah urus negara dan salah
urus perusahaan oleh pengusaha,
yang di jadikan kambing hitam dan
dikorbankan kali pertama adalah
buruh.
Sementara itu, kebijakan pemerintah
yang dituangkan dalam bentuk SKB
tidak dikenal nomenklaturnya di
dalam UU No 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Seandainya
substansi yang diatur dalam
kebijakan pemerintah tersebut
melintasi banyak bidang,
seharusnya kebijakan itu ditarik ke
peraturan yang lebih atas, yakni
dalam bentuk peraturan presiden.
Mengapa dalam hal ini presiden tidak
berani mengambil kebijakan itu dan
hanya memasang menteri-
menterinya untuk mengeluarkan
kebijakan tersebut? Sungguh sebuah
kebijakan yang penuh tangan-
tangan tersembunyi (invisible hand)
dan menyengsarakan kaum buruh.

Selasa, 27 Juli 2010

Mitos Kartini dan RekayasaSejarah

Ada yang menarik pada Jurnal
Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9
April 2009 lalu.
Dari empat
halaman jurnal
berbentuk koran
yang membahas
tema utama
tentang
Kesetaraan
Gender, ada
tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar
Bahtiar tentang Kartini. Judulnya:
“Mengapa Harus Kartini?”
Sejarawan yang menamatkan
magister bidang sejarah di
Universitas Indonesia ini
mempertanyakan: Mengapa Harus
Kartini? Mengapa setiap 21 April
bangsa Indonesia memperingati
Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita
Indonesia lain yang lebih layak
ditokohkan dan diteladani
dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009
kali ini, sangatlah relevan untuk
membaca dan merenungkan artikel
yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar
tersebut. Tentu saja, pertanyaan
bernada gugatan seperti itu bukan
pertama kali dilontarkan sejarawan.
Pada tahun 1970-an, di saat kuat-
kuatnya pemerintahan Orde Baru,
guru besar Universitas Indonesia,
Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah
menggugat masalah ini. Ia
mengkritik ‘pengkultusan’ R.A.
Kartini sebagai pahlawan nasional
Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini
(1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja
W. Bahtiar menulis sebuah artikel
berjudul “Kartini dan Peranan
Wanita dalam Masyarakat Kita”.
Tulisan ini bernada gugatan
terhadap penokohan Kartini. “Kita
mengambil alih Kartini sebagai
lambang emansipasi wanita di
Indonesia dari orang-orang Belanda.
Kita tidak mencipta sendiri lambang
budaya ini, meskipun kemudian
kitalah yang mengembangkannya
lebih lanjut,” tulis Harsja W.
Bachtiar, yang menamatkan doktor
sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan
halus, mengapa harus Kartini yang
dijadikan sebagai simbol kemajuan
wanita Indonesia. Ia menunjuk dua
sosok wanita yang hebat dalam
sejarah Indonesia. Pertama,
Sultanah Seri Ratu Tajul Alam
Safiatuddin Johan Berdaulat dari
Aceh dan kedua, Siti Aisyah We
Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu
tidak masuk dalam buku Sejarah
Setengah Abad Pergerakan Wanita
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1978), terbitan resmi Kongres
Wanita Indonesia (Kowani). Tentu
saja Kartini masuk dalam buku
tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan
dua wanita itu sangat luar biasa.
Sultanah Safiatudin dikenal sebagai
sosok yang sangat pintar dan aktif
mengembangkan ilmu
pengatetahuan. Selain bahasa Aceh
dan Melayu, dia menguasai bahasa
Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di
masa pemerintahannya, ilmu dan
kesusastraan berkembang pesat.
Ketika itulah lahir karya-karya besar
dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah
Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga
berhasil menampik usaha-usaha
Belanda untuk menempatkan diri di
daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil
memperoleh monopoli atas
perdagangan timah dan komoditi
lainnya. Sultanah memerintah Aceh
cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia
dikenal sangat memajukan
pendidikan, baik untuk pria maupun
untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut
Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah
We Tenriolle. Wanita ini bukan
hanya dikenal ahli dalam
pemerintahan, tetapi juga mahir
dalam kesusastraan. B.F. Matthes,
orang Belanda yang ahli sejarah
Sulawesi Selatan, mengaku
mendapat manfaat besar dari
sebuah epos La-Galigo, yang
mencakup lebih dari 7.000 halaman
folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat
sendiri oleh We Tenriolle. Pada
tahun 1908, wanita ini mendirikan
sekolah pertama di Tanette, tempat
pendidikan modern pertama yang
dibuka baik untuk anak-anak pria
maupun untuk wanita.
Penelusuran Prof. Harsja W.
Bachtiar terhadap penokohan Kartini
akhirnya menemukan kenyataan,
bahwa Kartini memang dipilih oleh
orang Belanda untuk ditampilkan ke
depan sebagai pendekar kemajuan
wanita pribumi di Indonesia. Mula-
mula Kartini bergaul dengan
Asisten-Residen Ovink suami istri.
Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje,
penasehat pemerintah Hindia
Belanda, yang mendorong J.H.
Abendanon, Direktur Departemen
Pendidikan, Agama dan Kerajinan,
agar memberikan perhatian pada
Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini:
“ Abendanon mengunjungi mereka
dan kemudian menjadi semacam
sponsor bagi Kartini. Kartini
berkenalan dengan Hilda de Booy-
Boissevain, istri ajudan Gubernur
Jendral, pada suatu resepsi di Istana
Bogor, suatu pertemuan yang
sangat mengesankan kedua belah
pihak. ”
Ringkasnya, Kartini kemudian
berkenalan dengan Estella
Zeehandelaar, seorang wanita aktivis
gerakan Sociaal Democratische
Arbeiderspartij (SDAP). Wanita
Belanda ini kemudian mengenalkan
Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan
wanita dan sosialisme. Tokoh
sosialisme H.H. van Kol dan
penganjur “Haluan Etika” C.Th. van
Deventer adalah orang-orang yang
menampilkan Kartini sebagai
pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini
wafat pada umur 25 tahun, pada
tahun 1911, Abendanon menerbitkan
kumpulan surat-surat Kartini dengan
judul Door Duisternis tot Lich.
Kemudian terbit juga edisi bahasa
Inggrisnya dengan judul Letters of a
Javaness Princess. Beberapa tahun
kemudian, terbit terjemahan dalam
bahasa Indonesia dengan judul
Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah
Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku
Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa
pengumpulan dana yang
memungkinkan pembiayaan
sejumlah sekolah di Jawa Tengah.
Tanggal 27 Juni 1913, didirikan
Komite Kartini Fonds, yang diketuai
C.Th. van Deventer. Usaha
pengumpulan dana ini lebih
memperkenalkan nama Kartini, serta
ide-idenya pada orang-orang di
Belanda. Harsja Bachtriar kemudian
mencatat: “Orang-orang Indonesia
di luar lingkungan terbatas Kartini
sendiri, dalam masa kehidupan
Kartini hampir tidak mengenal Kartini
dan mungkin tidak akan mengenal
Kartini bilamana orang-orang
Belanda ini tidak menampilkan
Kartini ke depan dalam tulisan-
tulisan, percakapan-percakapan
maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI
tersebut: “Kita mengambil alih Kartini
sebagai lambang emansipasi wanita
di Indonesia dari orang-orang
Belanda. Kita tidak mencipta sendiri
lambang budaya ini, meskipun
kemudian kitalah yang
mengembangkannya lebih lanjut. ”
Harsja mengimbau agar informasi
tentang wanita-wanita Indonesia
yang hebat-hebat dibuka seluas-
luasnya, sehingga menjadi
pengetahuan suri tauladan banyak
orang. Ia secara halus berusaha
meruntuhkan mitos Kartini: “Dan,
bilamana ternyata bahwa dalam
berbagai hal wanita-wanita ini lebih
mulia, lebih berjasa daripada R.A.
Kartini, kita harus berbangga bahwa
wanita-wanita kita lebih hebat
daripada dikira sebelumnya, tanpa
memperkecil penghargaan kita pada
RA Kartini. ”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia
(INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar
Anwar Bahtiar juga menyebut
sejumlah sosok wanita yang sangat
layak dimunculkan, seperti Dewi
Sartika di Bandung dan Rohana
Kudus di Padang (kemudian pindah
ke Medan). Dua wanita ini pikiran-
pikirannya memang tidak sengaja
dipublikasikan. Tapi yang mereka
lakukan lebih dari yang dilakukan
Kartini. Berikut ini paparan tentang
dua sosok wanita itu, sebagaimana
dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan
hanya berwacana tentang
pendidikan kaum wanita. Ia bahkan
berhasil mendirikan sekolah yang
belakangan dinamakan Sakola
Kautamaan Istri (1910) yang berdiri
di berbagai tempat di Bandung dan
luar Bandung. Rohana Kudus
(1884-1972) melakukan hal yang
sama di kampung halamannya.
Selain mendirikan Sekolah Kerajinan
Amal Setia (1911) dan Rohana School
(1916), Rohana Kudus bahkan
menjadi jurnalis sejak di Koto
Gadang sampai saat ia mengungsi
ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis
wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan
ide-idenya dalam surat, mereka
sudah lebih jauh melangkah:
mewujudkan ide-ide dalam tindakan
nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh
Abendanon yang berinisiatif
menerbitkan surat-suratnya, Rohana
menyebarkan idenya secara
langsung melalui koran-koran yang
ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting
Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita
Bergerak (Padang), Radio (padang),
hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut
Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut
Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah
Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh,
klaim-klaim keterbelakangan kaum
wanita di negeri pada masa Kartini
hidup ini harus segera digugurkan.
Mereka adalah wanita-wanita hebat
yang turut berjuang
mempertahankan kemerdekaan
Aceh dari serangan Belanda. Tengku
Fakinah, selain ikut berperang juga
adalah seorang ulama-wanita. Di
Aceh, kisah wanita ikut berperang
atau menjadi pemimpin pasukan
perang bukan sesuatu yang aneh.
Bahkan jauh-jauh hari sebelum era
Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda
datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh
sudah memiliki Panglima Angkatan
Laut wanita pertama, yakni
Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia
bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
Kartini? Mengapa bukan Rohana
Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak
Dien? Mengapa Abendanon memilih
Kartini? Dan mengapa kemudian
bangsa Indonesia juga mengikuti
kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak
pernah mau tunduk kepada Belanda.
Ia tidak pernah menyerah dan
berhenti menentang penjajahan
Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah
masyarakat, Rohana Kudus juga
memiliki visi keislaman yang tegas.
“ Perputaran zaman tidak akan
pernah membuat wanita menyamai
laki-laki. Wanita tetaplah wanita
dengan segala kemampuan dan
kewajibannya. Yang harus berubah
adalah wanita harus mendapat
pendidikan dan perlakukan yang
lebih baik. Wanita harus sehat
jasmani dan rohani, berakhlak dan
berbudi pekerti luhur, taat beribadah
yang kesemuanya hanya akan
terpenuhi dengan mempunyai ilmu
pengetahuan, ” begitu kata Rohana
Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof.
Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar
Bahtiar, penokohan Kartini tidak
terlepas dari peran Belanda. Harsja
W. Bachtiar bahkan menyinggung
nama Snouck Hurgronje dalam
rangkaian penokohan Kartini oleh
Abendanon. Padahal, Snouck adalah
seorang orientalis Belanda yang
memiliki kebijakan sistematis untuk
meminggirkan Islam dari bumi
Nusantara. Pakar sejarah Melayu,
Prof. Naquib al-Attas sudah lama
mengingatkan adanya upaya yang
sistematis dari orientalis Belanda
untuk memperkecil peran Islam
dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam
Sejarah dan Kebudayaan Melayu
((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4),
Prof. Naquib al-Attas menulis
tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah
memperkecil peranan Islam
dalam sejarah Kepulauan ini,
sudah nyata pula, misalnya
dalam tulisan-tulisan Snouck
Hurgronje pada akhir abad
yang lalu. Kemudian hampir
semua sarjana-sarjana yang
menulis selepas Hurgronje
telah terpengaruh kesan
pemikirannya yang meluas
dan mendalam di kalangan
mereka, sehingga tidak
mengherankan sekiranya
pengaruh itu masih berlaku
sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan
Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah
suratnya kepada Ny. Abendanon,
Kartini memang beberapa kali
menyebut nama Snouck.
Tampaknya, Kartini memandang
orientalis-kolonialis Balanda itu
sebagai orang hebat yang sangat
pakar dalam soal Islam. Dalam
suratnya kepada Ny. Abendanon
tertanggal 18 Februari 1902, Kartini
menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis
dan baik!… Masih ada lagi suatu
permintaan penting yang
hendak saya ajukan kepada
Nyonya. Apabila Nyonya
bertemu dengan teman
Nyonya Dr. Snouck
Hurgronje, sudikah Nyonya
bertanya kepada beliau tentang
hal berikut: ”Apakah dalam
agama Islam juga ada hukum
akil balig seperti yang terdapat
dalam undang-undang bangsa
Barat?” Ataukah sebaiknya
saya memberanikan diri
langsung bertanya kepada
beliau? Saya ingin sekali
mengetahui sesuatu tentang
hak dan kewajiban perempuan
Islam serta anak
perempuannya.” (Lihat, buku
Kartini: Surat-surat kepada Ny.
R.M. Abendanon-Mandri dan
Suaminya, (penerjemah:
Sulastin Sutrisno), (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 2000),
hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje
en Islam (Diindonesiakan oleh
Girimukti Pusaka, dengan judul
Snouck Hurgronje dan Islam, tahun
1989), P.SJ. Van Koningsveld
memaparkan sosok dan kiprah
Snouck Hurgronje dalam upaya
membantu penjajah Belanda untuk
’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak
orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher,
yang menjadi murid para Syaikh al-
Azhar Kairo, Snouck sampai merasa
perlu untuk menyatakan diri sebagai
seorang muslim (1885) dan
mengganti nama menjadi Abdul
Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima
menjadi murid para ulama Mekkah.
Posisi dan pengalaman ini nantinya
memudahkan langkah Snouck
dalam menembus daerah-daerah
Muslim di berbagai wilayah di
Indonesia.
Menurut Van Koningsveld,
pemerintah kolonial mengerti benar
sepak terjang Snouck dalam
’ penyamarannya’ sebagai Muslim.
Snouck dianggap oleh banyak kaum
Muslim di Nusantara ini sebagai
’ ulama’. Bahkan ada yang
menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia
Belanda’. Juga ada yang
memanggilnya ”Syaikhul Islam
Jawa”. Padahal, Snouck sendiri
menulis tentang Islam:
” Sesungguhnya agama ini
meskipun cocok untuk
membiasakan ketertiban kepada
orang-orang biadab, tetapi tidak
dapat berdamai dengan peradaban
modern, kecuali dengan suatu
perubahan radikal, namun tidak
sesuatu pun memberi kita hak untuk
mengharapkannya. ” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857)
adalah adviseur pada Kantoor voor
Inlandsche zaken pada periode
1899-1906. Kantor inilah yang
bertugas memberikan nasehat
kepada pemerintah kolonial dalam
masalah pribumi. Dalam bukunya,
Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:
LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto
mengupas panjang lebar pemikiran
dan nasehat-nasehat Snouck
Hurgronje kepada pemerintah
kolonial Belanda. Salah satu
strateginya, adalah melakukan
‘ pembaratan’ kaum elite pribumi
melalui dunia pendidikan, sehingga
mereka jauh dari Islam. Menurut
Snouck, lapisan pribumi yang
berkebudayaan lebih tinggi relatif
jauh dari pengaruh Islam.
Sedangkan pengaruh Barat yang
mereka miliki akan mempermudah
mempertemukannya dengan
pemerintahan Eropa. Snouck
optimis, rakyat banyak akan
mengikuti jejak pemimpin
tradisional mereka. Menurutnya,
Islam Indonesia akan mengalami
kekalahan akhir melalui asosiasi
pemeluk agama ini ke dalam
kebudayaan Belanda. Dalam
perlombaan bersaing melawan
Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi
kebudayaan yang ditopang oleh
pendidikan Barat akan keluar sebagai
pemenangnya. Apalagi, jika
didukung oleh kristenisasi dan
pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa
strategi Snouck Hurgronje dalam
menaklukkan Islam di Indonesia:
“ Terhadap daerah yang Islamnya
kuat semacam Aceh misalnya,
Snouck Hurgronje tidak merestui
dilancarkan kristenisasi. Untuk
menghadapi Islam ia cenderung
memilih jalan halus, yaitu dengan
menyalurkan semangat mereka
kearah yang menjauhi agamanya
(Islam) melalui asosiasi
kebudayaan. ” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah
untuk menaklukkan Islam. Kita
melihat, strategi dan taktik itu pula
yang sekarang masih banyak
digunakan untuk ‘menaklukkan’
Islam. Bahkan, jika kita cermati,
strategi itu kini semakin canggih
dilakukan. Kader-kader Snouck dari
kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah
berjubel. Biasanya, berawal dari
perasaan ‘minder’ sebagai Muslim
dan silau dengan peradaban Barat,
banyak ‘anak didik Snouck’ –
langsung atau pun tidak – yang
sibuk menyeret Islam ke bawah
orbit peradaban Barat. Tentu, sangat
ironis, jika ada yang tidak sadar,
bahwa yang mereka lakukan adalah
merusak Islam, dan pada saat yang
sama tetap merasa telah berbuat
kebaikan. [Depok, 20 April 2009/
www.hidayatullah.com]

Habis Gelap Terbit “Suram”;Nasib Pekerja Indonesia.

SEOLAH-OLAH sudah menjadi
takdir klas pekerja di Indonesia,
bahwa kemiskinan dan tekanan
hidup sudah menjadi hukum alam
yang tidak bisa di ubah. Setelah
kaum pekerja berhasil menahan
upaya revisi UU Ketenagakerjaan
yang sangat merugikan buruh,
pemerintah kembali bermanuver
lain, dengan menggodok
Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) mengenai berbagai klausul
kontroversial dalam UU No
13/2003 yang masih menjadi
pokok sengketa antara buruh dan
pengusaha. Pemerintah dan DPR
yakin bahwa keluarnya RPP ini bisa
mengatasi kemacetan dalam
implementasi UU ketenagakerjaan.
Paket rancangan tersebut berisi
dua judul RPP. Pertama, RPP
tentang Perubahan Perhitungan
Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Uang
Penggantian Hak. Kedua, RPP
tentang Program Jaminan
Pemutusan Hubungan Kerja (RPP
Jaminan PHK).
Kembali sebuah logika terbalik di
jadikan alasan pembahasan klausul
perundanga-undangan
perburuhan untuk memanipulasi
dan menipu buruh agar menerima
paket-paket liberalisasi sektor
perburuhan. Bahwa pemerintah
mencoba menyelesaikan beberapa
klaususl tersebut hanya dengan
merubah redaksi, tetapi sama
sekali tidak menyentuh problem
pokoknya. Sangat jelas bahwa
dalam UU Ketenagakerjaan ada
dua semangat yang sangat di
tentang oleh kaum buruh yakni
Sistem kontrak dan Outsourcing.
Ketika persoalan fundamental ini
tidak di selesaikan, maka
bagaimanapun klausul yang di
tawarkan oleh pemerinatah tidak
akan menyelesaikan masalah.
Erman Suparno, menteri tenaga
kerja dan Transmigrasi
menganggap bahwa RPP
pesangon dan RPP Jaminan PHK
ini adalah modal plus bagi hak-hak
buruh selain hak buruh yang
sebelumnya di jamin: Selain
jaminan kesehatan, kecelakaan,
hari tua, dan kematian.
Memang sungguh hal miris,
bahwa masih ada sekitar 60 ribu
kasus pemutusan hubungan kerja
(PHK) dengan nilai pesangon
sekitar 500 Milyar rupiah, sampai
saat ini belum diselesaikan.
Tentunya ini adalah sebuah realitas
yang tidak bisa di tutupi, dan
butuh tindakan darurat untuk
memberikan jaminan hukum dan
mobilisasi anggaran hingga
pekerja terpastikan menerima hak-
hakanya tersebut.
Deregulasi Untuk reformasi
system Perburuhan Indonesia
Secara umum perdebatan yang
mengemuka antara beberapa
Aliansi serikat Pekerja (terutama
serikat buruh kuning) dengan
pemerintah bertitik pada beberapa
problem mendasar dalam
Rancangan RPP itu, antara lain: soal
premi 3 % yang ditawarkan oleh
pemerintah (dan merupakan posisi
mutlak Asosiasi Pengusaha) dan
persoalan patokan perhituangan
pesangon ditetapkan batas atas
gaji yang menjadi faktor pengkali
jumlah pesangon sebesar lima kali
pendapatan tidak kena pajak
(PTKP), yang saat ini sebesar Rp 1,1
juta. Artinya, gaji maksimal
pekerja yang dijamin
pesangonnya, hanya Rp 5,5 juta
per bulan. Serikat pekerja melihat
bahwa dengan patokan Rp.5,5 juta
maka RPP ini diskriminatif karena
otomatis pekerja yang
berpendapatan diatas gaji tersebut
tidak akan memperoleh jaminan.
Disisi lain, Erman Suparno,
mewakili pemerintah beranggapan
bahwa dengan patokan Rp.5,5 Juta
itu sebenarnya tidak terlalu
berpengaruh ke mayoritas pekerja
karena dari total jumlah pekerja
Dari 27 juta tenaga kerja, terdapat
99% pekerja yang berpenghasilan
di bawah 5 kali PTKP (Rp. 5,5 juta)
sedangkan yang berpendapatan di
atas lebih kecil.
Esensi perdebatan ini sebenarnya
tidak menyentuh asal –muasal dan
kepentingan pokok yang ingin di
targetkan pemerintah sebagai
kelanjutan dari reformasi
perburuhan agar mengikuti
standar yang di inginkan oleh
investor (pemilik Modal). Apa
sebenarnya yang menjadi
kehendak pemodal dan
pemerintah dalam pembahasan
RPP tentang Perubahan
Perhitungan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Uang
Penggantian Hak dan RPP tentang
Program Jaminan Pemutusan
Hubungan Kerja (RPP Jaminan
PHK). (1) Melestarikan sistem
Kontrak dan Outsorcing. Kenapa?
tuntutan perombakan sistem
perburuhan seperti yang
dikehendaki pemilik modal
(investor) adalah sesuatu yang
tidak bisa di tunda-tunda lagi (baca;
dikompromikan), sehingga harus
di cari jalan untuk memaksakan
sistem kontrak dan outsourcing
tetap menjadi pilihan penguasaha.
Dengan adanya jaminan
pesangon, dan bahwa logika
“Makin lama bekerja makin banyak
gajinya” membuat buruh tidak
teralalu pusing dengan status
pekerjaannya (kontrak). (2). Di
masa yang akan datang,
Pemutusan hubungan kerja(PHK)
akan semakin massif dengan
berbagai alasan oleh pengusaha,
dan bagi buruh setelah di PHK
mereka mendapat jaminan
mendapatkan pesangon.
Sebenarnya ini hanyalah politik
pengusaha dan pemerintah untuk
melemahkan posisi buruh di
tempat kerjanya (organisasi unit
kerja) karena massifnya PHK,
karena dengan PHK dan di topang
outsourcing maka pengusaha bisa
secara sepihak bisa menekan
buruh dalam persolan upah, dan
hak-hak normatif lainnya. (3).
Bahwa kedua RPP, ini hanya
bentuk lain dari revisi UU
Ketenagakerjaan yang sudah di
rubah bentuknya namun tidak
menghilangkan substansi dan
tujuan semulanya. (4) ini bisa di
curigai strategi pemerintah untuk
menghimpun dana tambahan dari
masyarakat (utamanya pekerja)
yang sebenarnya harus di simpan
untuk jaminan hari tua/atau setelah
di PHK, di sedot untuk di
spekulasikan di bursa saham.
Karena dalam prosesanya
bentuknya bukan asuransi tetapi
cenderung dalam bentuk
reksadana.
Metode legislasi Kebijakan yang
berulang-ulang
Metode yang di tempuh
pemerintah, DPR dan pengusaha
ini bukanlah “modus operandi”
yang sama sekali baru, tetapi
sudah berulangkali dilakukan.
Kebijakan pemerintah yang
dianggap mendesak oleh mereka,
namun mendapat perlawan luas
dari massa rakyat akan seolah-olah
di hentikan, di rubah, dai
modifikasi kemudian lahir
kebijakan baru yang bentuknya di
pecah-pecah agar tidak kasat mata
di lihat kaum pekerja. SUDAH jelas
bahwa RPP pesangon yang
ditetapkan oleh Parlemen tersebut
sama sekali tidak menjawab
problem mendasar dari pekerja.
Kalaupun RPP itu menjamin hak-
hak pekerja untuk mendapat
pesaangon sesuai dengan
ketentuan pendapatan tidak kena
pajak (PTKP), tetapi dilapaangan
praktek UU itu tidak mampu
memaksa pengusaha yang
melanggar ketentuan tersebut.
dalam ketentuan penerapan Upah
Minimum Propinsi saja misalnya,
masih banyak perusahaan yang
melanggar dan membayar di
bawah standar namun karena
berbagai alasan irasional,
pemerintah seolah-olah
membiarkannya. Disamping itu,
ada celah yang tersedia di RPP ini
bahwa tanggung jawab
membayar pesangon bukan lagi
tanggung jawab pengusaha
bersangkutan tetapi bisa di alihkan
ke perusahaan asuransi.
Sebenarnya jikalau pemerintah
ingin memberikan perlindungan
terhadap pekerja, termasuk
berbagai kasus PHK yang upahnya
belum dibayarkan (menurut
menakertrans) maka persoalan
fundamentalnya adalah merombak
regulasi perburuhan kita dengan
tidak mengijinkan sistem Kontrak,
outsourcing, membuat aturan
yang melarang PHK, dan tidak
mendiskreditkan serikat buruh—
utamanya serikat buruh radikal.
Tidak ada lagi diskriminasi antara
sektor formal dan informal, dan
pemerintah mestinya lebih
berpihak kepada buruh dalam
persoalan industrial. Pemerintah
harus tegas dan berdaulat dalam
menghadapi dan menekan
perusahaan yang seenaknya saja
memasukkan dan memindahkan
investasi dari indonesia keluar.
Cukup sudah alasan investasi,
dijadikan tameng untuk
melepaskan gandul yang akan
memukul lonceng kematian kaum
buruh, karena tanpa klas pekerja
sebenarnya negara tidak ada apa-
apanya.

Rabu, 21 Juli 2010

MY BLOG: BAB I KETENTUAN UMUM

MY BLOG: BAB I KETENTUAN UMUM

OUTSOURCING, PHK DAN UNIONBUSTING

Peran
buruh
dalam
pembangunan negeri ini tidak dapat
dipungkiri. Sayangnya pemerintah
hanya melihat bahwa kekuatan
utama penggerak ekonomi negeri
ini adalah investor. Pemerintah tidak
pernah menganggap bahwa
investor tersebut tidak akan berdaya
tanpa tenaga buruh, karena para
investor tersebut tidak akan mampu
mengelola segala sumber daya
(modal) yang dimilikinya tanpa
buruh. Artinya, sebuah perusahaan
tidak akan berdaya apa-apa, mereka
tidak akan mampu mengubah
benang menjadi kain tanpa tenaga
dan keringat buruh.
Data yang ditunjukkan oleh Badan
Pusat Statistik bahwa Produk
Domestik Bruto Indonesia tahun
1999 menunjukkan bahwa sektor
pertanian hanya menyumbang
19,5% dari PDB. Sektor industri
manufaktur menyumbang 25,9%;
Sektor pertambangan, energi dan
konstruksi menyumbang 17,8%;
Perdagangan dan perbankan
menyumbang 11,3%. Sisanya yang
25,5% disumbangkan oleh sektor
jasa, termasuk transportasi.
Data ini menunjukkan bahwa
penduduk Indonesia sekarang ini
tidak lagi bekerja di sektor pertanian
tapi industri, entah itu industri
manufaktur, perbankan, jasa dan
lain-lain. Artinya bahwa
penyumbang terbesar pendapatan
negara adalah buruh yang setiap
harinya bekerja untuk kepentingan
perusahaan, dan kemudian
dianggap bahwa perusahaanlah
yang paling besar peranannya
dalam menghasilkan pundi-pundi
pendapatan negara. Negara ini lupa
bahwa mesin yang dimiliki oleh
pengusaha tidak akan berjalan tanpa
buruh.
Sementara, kepedulian pemerintah
untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh masih sangat rendah, bahkan
setiap buruh melakukan protes
terhadap parahnya kondisi
ketenagakerjaan di negeri ini, saat itu
pula pemerintah dan pengusaha
berusaha untuk tidak memberikan
peluang kepada mereka. Beberapa
contoh telah kita saksikan dalam
konflik ketenagakerjaan yang dialami
oleh buruh dan pengusaha yang
berakhir ricuh dan bahkan banyak
pengusaha yang menggunakan
tenaga preman, tapi pihak yang
berwenang tidak mampu berbuat
apa-apa untuk menindak tegas
perlakuan teror semacam itu.
Sekali lagi ini diakibatkan oleh
perspektif pemerintah yang
menganggap bahwa penggerak
utama perekonomian negara adalah
investor, sehingga mereka berusaha
dengan sekuat tenaga melindungi
kepentingan pengusaha/investor,
walaupun harus merugikan buruh.
Outsourching dan PHK
Belakangan ini, pemerintah kembali
akan merevisi Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pemerintah
sepakat dengan tuntutan buruh
untuk menghapus sistem kerja
kontrak dan outsourcing, namun di
sisi lain pemerintah akan
mengurangi persentase pesangon
yang diterima saat buruh di-PHK
bahkan meniadakannya sama sekali.
Pemerintah lupa bahwa buruh
selama ini menolak sistem kerja
kontrak danoutsourcing karena
begitu mudahnya buruh di-PHK
akibat tidak ada kewajiban
pengusaha untuk membayar
pesangon apabila telah lepas
kontrak.
Pemerintah sepertinya hendak
menipu pekerja dengan menghapus
sistem kerja kontrak dan
menukarnya dengan penghilangan
pesangon apabila pekerja di-PHK.
Bersyukurlah bahwa beberapa
serikat buruh di Indonesia (salah
satu di antaranya adalah Konfederasi
Kongres Aliansi Serikat Buruh
Indonesia-Konfederasi KASBI)
menolak revisi undang-undang
ketenagakerjaan tersebut. Dengan
tetap menyatakan bahwa undang-
undang tersebut adalah undang-
undang yang tidak berpihak pada
buruh, untuk itu harus dicabut dan
diganti dengan undang-undang
yang dirumuskan sendiri oleh
buruh.
Walaupun dalam undang-undang
telah diatur bahwa hanya jenis
pekerjaan tertentu saja yang dapat
dikerjakan oleh buruh yang memiliki
status outsourcing, tapi realitas di
lapangan ada banyak perusahaan
bahkan lembaga-lembaga
pemerintah yang mempekerjakan
tenaga outsourcing dan kontrak
yang tidak termasuk pada jenis
pekerjaan yang boleh dikerjakan
oleh buruh kontrak dan
outsourcing. Konflik yang terjadi
antara Pekerja Pertamina Balongan
dan pihak Pertamina di Surabaya
adalah satu contoh dari sekian
banyak kasus lainnya.
Outsourcing dan Union Busting
Persoalan lain dari sistem kerja
kontrak dan outsourcing adalah
bahwa mereka tidak diberikan
kesempatan untuk berorganisasi/
berserikat, meskipun peraturan
ketenagakerjaan tidak menyebutkan
secara eksplisit bahwa buruh
outsourcing tidak dibolehkan
berserikat. Namun demikian mereka
tetap was-was dan tidak berdaya
berserikat dengan ketakutan bahwa
kontrak mereka tidak akan
diperpanjang apabila mereka
diketahui berserikat oleh pengusaha.
Semua tahu bahwa secara sosial,
posis buruh di mata pengusaha
sangat lemah dan untuk itulah
mengapa dalam undang-undang
diharuskan ada campur tangan
pemerintah dalam pengawasan
maupun penanganan kasus-kasus
ketenagakerjaan.
Namun pemerintah yang sering
diwakili oleh Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi serta
jajarannya tidak mampu dan
bahkan cenderung membiarkan
pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pengusaha di bidang
ketenagakerjaan. Pemerintah selalu
beranggapan bahwa pengusahalah
yang menyelamatkan Indonesia.
Indonesia akan runtuh apabila
pengusaha tidak ada, sehingga
wajar pemerintah akan dengan
sekuat tenaga menutupi
pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pengusaha.
Satu-satunya yang mampu
memperjuangkan hak-hak buruh
adalah apabila mereka bersatu
dalam serikat buruh dan bersama-
sama menuntut hak-hak mereka
dalam serikat buruh. Serikat buruh
menjadi alat perjuangan bersama,
termasuk bagi buruhoutsourcing,
dan memberi kekuatan jauh lebih
besar dibandingkan harus berjuang
seorang diri.
* Penulis adalah Sekretaris
Perhimpunan Rakyat Pekerja
Makassar, sekaligus anggota Forum
Belajar Bersama Prakarsa Rakyat
dari Simpul Sulawesi Selatan.
Sumber (portal Prakarsa Rakyat atau
www.prakarsa-rakyat.org).

Selasa, 13 Juli 2010

Keadilan Hukum untuk RakyatMiskin

Belakangan ini istilah
bantuan hukum agaknya
mengalami kekaburan makna. Baik
dalam tataran arti, konsep, maupun
pelaksanaan.
Misalnya, sesuai temuan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat
dana sebesar Rp 96,25 miliar yang
dipakai untuk membayar jasa
bantuan hukum bagi para pejabat
atau mantan pejabat BI yang
terseret kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI).
Belum lagi persoalan itu selesai,
muncul rencana dari Korps Pegawai
Republik Indonesia (Korpri)- sebuah
korps yang beranggotakan 4 juta
pegawai negeri di Indonesia- untuk
membentuk Lembaga Konsultasi
Dan Bantuan Hukum (LKBH).
Di negara yang sistem bantuan
hukumnya belum tertata secara
rapi, semacam Indonesia, dampak
dari penyalahgunaan makna atau
istilah, bisa berakhir keruwetan.
Seharusnya, konsep bantuan
hukum adalah kepada rakyat
miskin, yang justru jumlahnya lebih
banyak dari pegawai negeri atau
pejabat BI. Menghadapi persoalan
hukum yang lebih sering dan pelik,
siapakah yang harus bertanggung
jawab terhadap nasib orang-orang
miskin tersebut?
Akses Keadilan
Mendapatkan bantuan hukum
merupakan hak asasi yang dimiliki
oleh setiap orang. Hak asasi tersebut
merujuk pada syarat setiap orang
untuk mendapatkan keadilan, tak
peduli dia kaya atau miskin. Pasal 27
ayat (1) UUD 1945 menyebutkan,
setiap warga negara sama
kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan, dan wajib
menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada
kekecualian.
Secara umum, bantuan hukum bisa
diartikan sebagai pemberian jasa
hukum kepada orang yang tidak
mampu --biasanya diukur secara
ekonomi. Ini juga bisa diartikan,
penyediaan bantuan pendanaan
bagi orang yang tidak mampu
membayar biaya proses hukum
(Collins Essential English Dictionary
2nd Edition, 2006). Karena bantuan
hukum itu melekat sebagai sebuah
hak, maka ada dua esensi dari
bantuan hukum: rights to legal
representation dan access to justice.
The rights to legal representation
bermakna hak seseorang untuk
diwakili atau didampingi oleh
advokat selama peradilan. Access to
justice berdimensi lebih luas lagi,
yakni tidak hanya diartikan sebagai
pemenuhan akses seseorang
terhadap pengadilan atau legal
representation, tapi harus
memberikan jaminan bahwa
hukum dan hasil akhirnya layak,
dan berkeadilan (UNDP, 2004).
Adnan Buyung Nasution (2005)
memberikan tiga poin pokok dari
access to justice yaitu, hak untuk
menggunakan dan/atau
mendapatkan manfaat dari hukum
dan sistem peradilan guna
mendapatkan keadilan dan
kebenaran material, jaminan dan
ketersediaan sistem serta sarana
pemenuhan hak (hukum) bagi
masyarakat miskin, dan metode
atau prosedur yang dapat
memperluas akses keadilan bagi
masyarakat miskin.
Indonesia, belum memiliki suatu
sistem bantuan hukum yang diatur
oleh undang-undang. Akibatnya,
bisa dibilang, pemberian bantuan
hukum, terutama bagi orang
miskin, dilakukan secara serabutan.
Itu pun sedikit sekali disokong oleh
Negara, baik dalam hal praktek
maupun pembiayaan. Yang zda
justru, pencantuman pos alokasi
dana bantuan hukum di instansi
pemerintah, seperti termaktub
dalam APBN.
Menurut APBN 2008, Mahkamah
Agung (MA) mendapatkan alokasi
dana total program peningkatan
pelayanan dan bantuan hukum
sebesar Rp 6,454 triliun, Kejaksaan
Agung sebesar Rp 2 triliun, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebesar Rp
793,9 miliar, dan Departemen
Hukum dan HAM sebesar Rp 4,846
triliun.
Namun, dalam prakteknya,
penggunaan dana-dana tersebut
tampaknya lebih bersifat internal.
Tertuju kepada biro/bidang di
instansi masing-masing. Kalau pun
ada yang disebar ke publik,
biasanya hanya berupa program
kampanye, publikasi, dan konsultasi
kilat. sedikit sekali yang dipakai
untuk melakukan pendampingan
langsung kepada orang miskin yang
hak atas keadilannya direnggut
selama berurusan dengan hukum.
Hak Rakyat Miskin
Ada dua hal yang perlu disorot jika
kita benar-benar serius
memperhatikan pemenuhan hak
rakyat miskin mendapatkan
keadilan, dalam hal pemberian
bantuan hukum.
Pertama, memurnikan peran
advokat dan komitmennya. Kedua,
langkah konkrit negara untuk
menata sistem bantuan hukum
yang dijamin oleh undang-undang.
Untuk poin pertama, advokat perlu
memahami posisinya sebagai orang
yang menyandang profesi mulia
dan terhormat. Pasal 22 ayat (1) UU
Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat menyebutkan, advokat
wajib memberikan bantuan hukum
secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu.
Ayat ini bermakna bahwa kewajiban
advokat tersebut bersemayam
dalam diri advokat sebagai
konsekuensi dari kemuliaan
profesinya. Artinya apa? Setiap
advokat harus memberikan segala
daya, biaya, dan upayanya untuk
sungguh-sungguh memberikan
bantuan hukum kepada orang
miskin.
Di sisi lain, untuk poin kedua, negara
juga perlu menjamin hak atas
bantuan hukum bagi orang miskin
itu dalam suatu undang-undang.
Jaminan dalam undang-undang
akan memberikan kepastian dan
kejelasan mekanisme pemberian
dan pembiayaan bantuan hukum
bagi orang miskin. Inilah bukti
keseriusan negara berpihak pada
keadilan dan orang miskin.
Di negara-negara lain, biaya
penyelenggaraan bantuan hukum
ditanggung oleh negara (state
budget) dan dialokasikan setiap
tahunnya. Australia Legal Aid
Commision (2003-2004) memiliki
total pendanaan $AU 337,757 juta,
The Taiwan Legal Aid Foundation
(2003-2004) sebesar $NT 217,97, di
Afrika Selatan (2006-2007) US$ 77,7
juta. Anggaran bantuan hukum di
berbagai negara hampir selalu
meningkat setiap tahunnya.
Adanya alokasi dana tak berarti
selesai semua persoalan bantuan
hukum. Dalam prakteknya perlu
sekali kesungguhan, keseriusan, dan
kebersihan setiap elemen
pendukung, supaya dana dan
upaya tersebut tepat sasaran kepada
orang miskin yang membutuhkan
keadilan.
Afrika Selatan misalnya, merasa
perlu membentuk sebuah komisi/
perhimpunan independen yang
mengelola dana bantuan hukum,
mendistribusikan kepada pekerja
bantuan hukum, mengawasi, dan
melaporkannya kepada parlemen
sebagai bentuk
pertanggungjawaban publik.
Bantuan hukum, sekali lagi, bertalian
sangat erat dengan keadilan rakyat.
Bertalian erat dengan hak asasi
manusia. Karenanya negara
memiliki kewajiban untuk
melindungi dan memenuhinya. Jika
tidak, kita patut bertanya: benarkah
negara menjamin hak asasi
manusia.?


Agustinus Edy Kristianto adalah
Direktur Publikasi dan Pendidikan
Publik Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesi