SEOLAH-OLAH sudah menjadi
takdir klas pekerja di Indonesia,
bahwa kemiskinan dan tekanan
hidup sudah menjadi hukum alam
yang tidak bisa di ubah. Setelah
kaum pekerja berhasil menahan
upaya revisi UU Ketenagakerjaan
yang sangat merugikan buruh,
pemerintah kembali bermanuver
lain, dengan menggodok
Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) mengenai berbagai klausul
kontroversial dalam UU No
13/2003 yang masih menjadi
pokok sengketa antara buruh dan
pengusaha. Pemerintah dan DPR
yakin bahwa keluarnya RPP ini bisa
mengatasi kemacetan dalam
implementasi UU ketenagakerjaan.
Paket rancangan tersebut berisi
dua judul RPP. Pertama, RPP
tentang Perubahan Perhitungan
Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Uang
Penggantian Hak. Kedua, RPP
tentang Program Jaminan
Pemutusan Hubungan Kerja (RPP
Jaminan PHK).
Kembali sebuah logika terbalik di
jadikan alasan pembahasan klausul
perundanga-undangan
perburuhan untuk memanipulasi
dan menipu buruh agar menerima
paket-paket liberalisasi sektor
perburuhan. Bahwa pemerintah
mencoba menyelesaikan beberapa
klaususl tersebut hanya dengan
merubah redaksi, tetapi sama
sekali tidak menyentuh problem
pokoknya. Sangat jelas bahwa
dalam UU Ketenagakerjaan ada
dua semangat yang sangat di
tentang oleh kaum buruh yakni
Sistem kontrak dan Outsourcing.
Ketika persoalan fundamental ini
tidak di selesaikan, maka
bagaimanapun klausul yang di
tawarkan oleh pemerinatah tidak
akan menyelesaikan masalah.
Erman Suparno, menteri tenaga
kerja dan Transmigrasi
menganggap bahwa RPP
pesangon dan RPP Jaminan PHK
ini adalah modal plus bagi hak-hak
buruh selain hak buruh yang
sebelumnya di jamin: Selain
jaminan kesehatan, kecelakaan,
hari tua, dan kematian.
Memang sungguh hal miris,
bahwa masih ada sekitar 60 ribu
kasus pemutusan hubungan kerja
(PHK) dengan nilai pesangon
sekitar 500 Milyar rupiah, sampai
saat ini belum diselesaikan.
Tentunya ini adalah sebuah realitas
yang tidak bisa di tutupi, dan
butuh tindakan darurat untuk
memberikan jaminan hukum dan
mobilisasi anggaran hingga
pekerja terpastikan menerima hak-
hakanya tersebut.
Deregulasi Untuk reformasi
system Perburuhan Indonesia
Secara umum perdebatan yang
mengemuka antara beberapa
Aliansi serikat Pekerja (terutama
serikat buruh kuning) dengan
pemerintah bertitik pada beberapa
problem mendasar dalam
Rancangan RPP itu, antara lain: soal
premi 3 % yang ditawarkan oleh
pemerintah (dan merupakan posisi
mutlak Asosiasi Pengusaha) dan
persoalan patokan perhituangan
pesangon ditetapkan batas atas
gaji yang menjadi faktor pengkali
jumlah pesangon sebesar lima kali
pendapatan tidak kena pajak
(PTKP), yang saat ini sebesar Rp 1,1
juta. Artinya, gaji maksimal
pekerja yang dijamin
pesangonnya, hanya Rp 5,5 juta
per bulan. Serikat pekerja melihat
bahwa dengan patokan Rp.5,5 juta
maka RPP ini diskriminatif karena
otomatis pekerja yang
berpendapatan diatas gaji tersebut
tidak akan memperoleh jaminan.
Disisi lain, Erman Suparno,
mewakili pemerintah beranggapan
bahwa dengan patokan Rp.5,5 Juta
itu sebenarnya tidak terlalu
berpengaruh ke mayoritas pekerja
karena dari total jumlah pekerja
Dari 27 juta tenaga kerja, terdapat
99% pekerja yang berpenghasilan
di bawah 5 kali PTKP (Rp. 5,5 juta)
sedangkan yang berpendapatan di
atas lebih kecil.
Esensi perdebatan ini sebenarnya
tidak menyentuh asal –muasal dan
kepentingan pokok yang ingin di
targetkan pemerintah sebagai
kelanjutan dari reformasi
perburuhan agar mengikuti
standar yang di inginkan oleh
investor (pemilik Modal). Apa
sebenarnya yang menjadi
kehendak pemodal dan
pemerintah dalam pembahasan
RPP tentang Perubahan
Perhitungan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Uang
Penggantian Hak dan RPP tentang
Program Jaminan Pemutusan
Hubungan Kerja (RPP Jaminan
PHK). (1) Melestarikan sistem
Kontrak dan Outsorcing. Kenapa?
tuntutan perombakan sistem
perburuhan seperti yang
dikehendaki pemilik modal
(investor) adalah sesuatu yang
tidak bisa di tunda-tunda lagi (baca;
dikompromikan), sehingga harus
di cari jalan untuk memaksakan
sistem kontrak dan outsourcing
tetap menjadi pilihan penguasaha.
Dengan adanya jaminan
pesangon, dan bahwa logika
“Makin lama bekerja makin banyak
gajinya” membuat buruh tidak
teralalu pusing dengan status
pekerjaannya (kontrak). (2). Di
masa yang akan datang,
Pemutusan hubungan kerja(PHK)
akan semakin massif dengan
berbagai alasan oleh pengusaha,
dan bagi buruh setelah di PHK
mereka mendapat jaminan
mendapatkan pesangon.
Sebenarnya ini hanyalah politik
pengusaha dan pemerintah untuk
melemahkan posisi buruh di
tempat kerjanya (organisasi unit
kerja) karena massifnya PHK,
karena dengan PHK dan di topang
outsourcing maka pengusaha bisa
secara sepihak bisa menekan
buruh dalam persolan upah, dan
hak-hak normatif lainnya. (3).
Bahwa kedua RPP, ini hanya
bentuk lain dari revisi UU
Ketenagakerjaan yang sudah di
rubah bentuknya namun tidak
menghilangkan substansi dan
tujuan semulanya. (4) ini bisa di
curigai strategi pemerintah untuk
menghimpun dana tambahan dari
masyarakat (utamanya pekerja)
yang sebenarnya harus di simpan
untuk jaminan hari tua/atau setelah
di PHK, di sedot untuk di
spekulasikan di bursa saham.
Karena dalam prosesanya
bentuknya bukan asuransi tetapi
cenderung dalam bentuk
reksadana.
Metode legislasi Kebijakan yang
berulang-ulang
Metode yang di tempuh
pemerintah, DPR dan pengusaha
ini bukanlah “modus operandi”
yang sama sekali baru, tetapi
sudah berulangkali dilakukan.
Kebijakan pemerintah yang
dianggap mendesak oleh mereka,
namun mendapat perlawan luas
dari massa rakyat akan seolah-olah
di hentikan, di rubah, dai
modifikasi kemudian lahir
kebijakan baru yang bentuknya di
pecah-pecah agar tidak kasat mata
di lihat kaum pekerja. SUDAH jelas
bahwa RPP pesangon yang
ditetapkan oleh Parlemen tersebut
sama sekali tidak menjawab
problem mendasar dari pekerja.
Kalaupun RPP itu menjamin hak-
hak pekerja untuk mendapat
pesaangon sesuai dengan
ketentuan pendapatan tidak kena
pajak (PTKP), tetapi dilapaangan
praktek UU itu tidak mampu
memaksa pengusaha yang
melanggar ketentuan tersebut.
dalam ketentuan penerapan Upah
Minimum Propinsi saja misalnya,
masih banyak perusahaan yang
melanggar dan membayar di
bawah standar namun karena
berbagai alasan irasional,
pemerintah seolah-olah
membiarkannya. Disamping itu,
ada celah yang tersedia di RPP ini
bahwa tanggung jawab
membayar pesangon bukan lagi
tanggung jawab pengusaha
bersangkutan tetapi bisa di alihkan
ke perusahaan asuransi.
Sebenarnya jikalau pemerintah
ingin memberikan perlindungan
terhadap pekerja, termasuk
berbagai kasus PHK yang upahnya
belum dibayarkan (menurut
menakertrans) maka persoalan
fundamentalnya adalah merombak
regulasi perburuhan kita dengan
tidak mengijinkan sistem Kontrak,
outsourcing, membuat aturan
yang melarang PHK, dan tidak
mendiskreditkan serikat buruh—
utamanya serikat buruh radikal.
Tidak ada lagi diskriminasi antara
sektor formal dan informal, dan
pemerintah mestinya lebih
berpihak kepada buruh dalam
persoalan industrial. Pemerintah
harus tegas dan berdaulat dalam
menghadapi dan menekan
perusahaan yang seenaknya saja
memasukkan dan memindahkan
investasi dari indonesia keluar.
Cukup sudah alasan investasi,
dijadikan tameng untuk
melepaskan gandul yang akan
memukul lonceng kematian kaum
buruh, karena tanpa klas pekerja
sebenarnya negara tidak ada apa-
apanya.
Koneksi internet bisa kita manfaatkan untuk mencari beberapa hal,baik segi positif dan negatif.. Banyak hal yang dapat kita peroleh dari koneksi internet ini,salah satunya ilmu pengetahuan.Dengan semakin pesatnya kemajuan zaman,komputer dan internet sudah bisa di jangkau oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia..maka dari itu kita manfaatkan kesempatan ini untuk menggali ilmu pengetahuan dari dunia maya..."MARI BELAJAR DI DUNIA MAYA"
Selasa, 27 Juli 2010
Habis Gelap Terbit “Suram”;Nasib Pekerja Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar