Powered By Blogger

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungannya

Silahkan cari apa yang anda perlukan,untuk sementara ini hanya tulisan yang bisa saya berikan pada para pengunjung

Rabu, 28 Juli 2010

SKB Empat Menteri soal UpahBuruh, Negara MengorbankanHak Buruh

Satu lagi kebijakan pemerintah yang
menyengsarakan buruh/pekerja
dikeluarkan. Kebijakan tersebut
tertuang dalam surat keputusan
bersama (SKB) empat menteri yang
ditandatangani oleh Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi, Menteri
Perindustrian, Menteri Dalam Negeri,
dan Menteri Perdagangan Mari Elka
Pangestu.
Meskipun SKB 4 menteri itu berjudul
“ Pemeliharaan momentum
pertumbuhan ekonomi nasional
dalam mengantisipasi
perkembangan perekonomian
global ”, isi utamanya sebenarnya
mengatur masalah penetapan upah
minimum. SKB empat menteri
tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di
bidang perburuhan.
Dalam pasal 3 SKB tersebut
dijelaskan bahwa gubernur dalam
menetapkan upah minimum
mengupayakan agar tidak melebihi
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pasal itu bertentangan dengan pasal
88 a(4) UU 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan
bahwa pemerintah menetapkan
upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf a
berdasar kebutuhan hidup layak
dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan
ekonomi.
Selain itu, pengaturan upah
minimum sudah secara tegas diatur
dalam Permenaker No 1/1999 jo
Kepmenakertrans No 226/2000
tentang Upah Minimum.
Penghitungan kebutuhan hidup
layak juga sudah diatur secara
terperinci di dalam Permenakertrans
No 17/2005 tentang Komponen dan
Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak. Dengan
demikian, pasal 3 SKB ini
bertentangan pula dengan
Permenakertrans yang mengatur
upah minimum tersebut.
Bagaimana mungkin kenaikan upah
minimum tidak boleh melebihi
angka pertumbuhan ekonomi,
sedangkan angka pertumbuhan
ekonomi nasional saat ini jauh di
bawah angka inflasi, apalagi angka
kebutuhan hidup layak.
Bandingkan pertumbuhan ekonomi
nasional 2008 yang kemungkinan
hanya sekitar enam persen.
Sedangkan angka inflasi 2008
berkisar 12 persen. Itu berarti upah
buruh akan senantiasa digerogoti
oleh angka inflasi tersebut.
Upah buruh yang naik di bawah
angka inflasi itu berarti upah riil
buruh turun. Bisa dibayangkan
betapa semakin menderitanya
kehidupan buruh, di mana upah
riilnya semakin lama semakin
berkurang. Upah buruh saat ini saja
masih jauh dari kehidupan yang
layak, apalagi jika dilegalkan untuk
berkurang nilai riilnya.
Sebenarnya, tanpa dilegalkan pun
mengenai penurunan upah riil
buruh tersebut, nilai riil upah
minimum yang selama ini terjadi
sudah terus-menerus turun.
Sebagai perbandingan, pada 1997
upah minimum buruh (di Surabaya)
sebesar 250 ribu rupiah, sedangkan
gaji PNS terendah adalah 150 ribu
rupiah.
Ini artinya bahwa upah buruh
hampir dua kali lipat dari gaji PNS
pada saat itu. Pada 2008 terjadi
sebaliknya, upah minimum buruh
sebesar 805 ribu, sedangkan gaji
PNS golongan terendah telah
mencapai 1,6 juta rupiah. Jadi,
sekarang gaji PNS terendah adalah
hampir dua kali upah minimum
buruh.
Demikian pula makna upah dari segi
upah riil yang diterima buruh. Pada
1997, upah minimum buruh
mampu untuk membeli 350 kg
beras (dengan harga beras 700
rupiah per kilogram pada tahun itu),
sedangkan upah minimum buruh
2008 hanya mampu untuk membeli
beras sebanyak 160 kilogram beras
(dengan harga beras Rp 5.000 per
kg di tahun ini). Ini bermakna, upah
riil buruh terjun bebas berkurang
hampir 50 persen
Argumentasi pemerintah bahwa
upah seharusnya dirundingkan
bersama antara pengusaha dengan
buruh tanpa campur tangan dari
pemerintah merupakan
kemunduran kebijakan. Secara
filosofi, masuknya pemerintah
dalam hubungan industrial adalah
bentuk penguatan terhadap posisi
tawar yang memang tidak
seimbang antara buruh ketika
berhadapan dengan pengusaha.
Dalam konteks perburuhan di
Indonesia, proteksi terhadap buruh
merupakan kewajiban pemerintah
untuk menghindari eksploitasi
pengusaha terhadap buruh, di mana
buruh dalam kondisi tidak berdaya
karena keterbatasan-keterbatasan
buruh.
Sementara itu, jika upah minimum
diserahkan pada pasar tenaga kerja,
bencana liberalisasi hubungan
industrial akan menjadi kenyataan di
republik ini. Liberalisasi hubungan
industrial pasti akan membawa
buruh pada kondisi yang makin
tidak berdaya menghadapi
kapitalisasi pengusaha.
Buruh tidak memiliki banyak pilihan
ketika disodorkan kepadanya sebuah
angka upah yang jauh dari layak.
Sebab, buruh memang
membutuhkan sesuap nasi untuk
menyambung hidup dirinya dan
keluarganya. Pilihan pahit bagi
buruh ialah menerima upah yang
tidak layak untuk dimakan daripada
tidak sama sekali yang akan
mengakibatkan kelaparan.
Krisis Global
Argumentasi lain dari pemerintah
mengenai “asbabunnuzul” SKB
empat menteri tersebut adalah
mengantisipasi krisis global
merupakan argumentasi klasik yang
selalu dikampanyekan ketika
pemerintah akan mengeluarkan
kebijakan baru di bidang
perburuhan.
Logika pemerintah ini berarti bahwa
krisis global tidak boleh
menumbangkan sektor usaha, tetapi
boleh menghabisi kehidupan kaum
buruh. Bukan hanya sekali ini buruh
dijadikan tumbal demi investasi,
melainkan sudah sangat sering.
Ketika kondisi sektor usaha suram
akibat salah urus negara dan salah
urus perusahaan oleh pengusaha,
yang di jadikan kambing hitam dan
dikorbankan kali pertama adalah
buruh.
Sementara itu, kebijakan pemerintah
yang dituangkan dalam bentuk SKB
tidak dikenal nomenklaturnya di
dalam UU No 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Seandainya
substansi yang diatur dalam
kebijakan pemerintah tersebut
melintasi banyak bidang,
seharusnya kebijakan itu ditarik ke
peraturan yang lebih atas, yakni
dalam bentuk peraturan presiden.
Mengapa dalam hal ini presiden tidak
berani mengambil kebijakan itu dan
hanya memasang menteri-
menterinya untuk mengeluarkan
kebijakan tersebut? Sungguh sebuah
kebijakan yang penuh tangan-
tangan tersembunyi (invisible hand)
dan menyengsarakan kaum buruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar