Powered By Blogger

Selamat Datang dan terima kasih atas kunjungannya

Silahkan cari apa yang anda perlukan,untuk sementara ini hanya tulisan yang bisa saya berikan pada para pengunjung

Rabu, 21 Juli 2010

OUTSOURCING, PHK DAN UNIONBUSTING

Peran
buruh
dalam
pembangunan negeri ini tidak dapat
dipungkiri. Sayangnya pemerintah
hanya melihat bahwa kekuatan
utama penggerak ekonomi negeri
ini adalah investor. Pemerintah tidak
pernah menganggap bahwa
investor tersebut tidak akan berdaya
tanpa tenaga buruh, karena para
investor tersebut tidak akan mampu
mengelola segala sumber daya
(modal) yang dimilikinya tanpa
buruh. Artinya, sebuah perusahaan
tidak akan berdaya apa-apa, mereka
tidak akan mampu mengubah
benang menjadi kain tanpa tenaga
dan keringat buruh.
Data yang ditunjukkan oleh Badan
Pusat Statistik bahwa Produk
Domestik Bruto Indonesia tahun
1999 menunjukkan bahwa sektor
pertanian hanya menyumbang
19,5% dari PDB. Sektor industri
manufaktur menyumbang 25,9%;
Sektor pertambangan, energi dan
konstruksi menyumbang 17,8%;
Perdagangan dan perbankan
menyumbang 11,3%. Sisanya yang
25,5% disumbangkan oleh sektor
jasa, termasuk transportasi.
Data ini menunjukkan bahwa
penduduk Indonesia sekarang ini
tidak lagi bekerja di sektor pertanian
tapi industri, entah itu industri
manufaktur, perbankan, jasa dan
lain-lain. Artinya bahwa
penyumbang terbesar pendapatan
negara adalah buruh yang setiap
harinya bekerja untuk kepentingan
perusahaan, dan kemudian
dianggap bahwa perusahaanlah
yang paling besar peranannya
dalam menghasilkan pundi-pundi
pendapatan negara. Negara ini lupa
bahwa mesin yang dimiliki oleh
pengusaha tidak akan berjalan tanpa
buruh.
Sementara, kepedulian pemerintah
untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh masih sangat rendah, bahkan
setiap buruh melakukan protes
terhadap parahnya kondisi
ketenagakerjaan di negeri ini, saat itu
pula pemerintah dan pengusaha
berusaha untuk tidak memberikan
peluang kepada mereka. Beberapa
contoh telah kita saksikan dalam
konflik ketenagakerjaan yang dialami
oleh buruh dan pengusaha yang
berakhir ricuh dan bahkan banyak
pengusaha yang menggunakan
tenaga preman, tapi pihak yang
berwenang tidak mampu berbuat
apa-apa untuk menindak tegas
perlakuan teror semacam itu.
Sekali lagi ini diakibatkan oleh
perspektif pemerintah yang
menganggap bahwa penggerak
utama perekonomian negara adalah
investor, sehingga mereka berusaha
dengan sekuat tenaga melindungi
kepentingan pengusaha/investor,
walaupun harus merugikan buruh.
Outsourching dan PHK
Belakangan ini, pemerintah kembali
akan merevisi Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pemerintah
sepakat dengan tuntutan buruh
untuk menghapus sistem kerja
kontrak dan outsourcing, namun di
sisi lain pemerintah akan
mengurangi persentase pesangon
yang diterima saat buruh di-PHK
bahkan meniadakannya sama sekali.
Pemerintah lupa bahwa buruh
selama ini menolak sistem kerja
kontrak danoutsourcing karena
begitu mudahnya buruh di-PHK
akibat tidak ada kewajiban
pengusaha untuk membayar
pesangon apabila telah lepas
kontrak.
Pemerintah sepertinya hendak
menipu pekerja dengan menghapus
sistem kerja kontrak dan
menukarnya dengan penghilangan
pesangon apabila pekerja di-PHK.
Bersyukurlah bahwa beberapa
serikat buruh di Indonesia (salah
satu di antaranya adalah Konfederasi
Kongres Aliansi Serikat Buruh
Indonesia-Konfederasi KASBI)
menolak revisi undang-undang
ketenagakerjaan tersebut. Dengan
tetap menyatakan bahwa undang-
undang tersebut adalah undang-
undang yang tidak berpihak pada
buruh, untuk itu harus dicabut dan
diganti dengan undang-undang
yang dirumuskan sendiri oleh
buruh.
Walaupun dalam undang-undang
telah diatur bahwa hanya jenis
pekerjaan tertentu saja yang dapat
dikerjakan oleh buruh yang memiliki
status outsourcing, tapi realitas di
lapangan ada banyak perusahaan
bahkan lembaga-lembaga
pemerintah yang mempekerjakan
tenaga outsourcing dan kontrak
yang tidak termasuk pada jenis
pekerjaan yang boleh dikerjakan
oleh buruh kontrak dan
outsourcing. Konflik yang terjadi
antara Pekerja Pertamina Balongan
dan pihak Pertamina di Surabaya
adalah satu contoh dari sekian
banyak kasus lainnya.
Outsourcing dan Union Busting
Persoalan lain dari sistem kerja
kontrak dan outsourcing adalah
bahwa mereka tidak diberikan
kesempatan untuk berorganisasi/
berserikat, meskipun peraturan
ketenagakerjaan tidak menyebutkan
secara eksplisit bahwa buruh
outsourcing tidak dibolehkan
berserikat. Namun demikian mereka
tetap was-was dan tidak berdaya
berserikat dengan ketakutan bahwa
kontrak mereka tidak akan
diperpanjang apabila mereka
diketahui berserikat oleh pengusaha.
Semua tahu bahwa secara sosial,
posis buruh di mata pengusaha
sangat lemah dan untuk itulah
mengapa dalam undang-undang
diharuskan ada campur tangan
pemerintah dalam pengawasan
maupun penanganan kasus-kasus
ketenagakerjaan.
Namun pemerintah yang sering
diwakili oleh Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi serta
jajarannya tidak mampu dan
bahkan cenderung membiarkan
pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pengusaha di bidang
ketenagakerjaan. Pemerintah selalu
beranggapan bahwa pengusahalah
yang menyelamatkan Indonesia.
Indonesia akan runtuh apabila
pengusaha tidak ada, sehingga
wajar pemerintah akan dengan
sekuat tenaga menutupi
pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pengusaha.
Satu-satunya yang mampu
memperjuangkan hak-hak buruh
adalah apabila mereka bersatu
dalam serikat buruh dan bersama-
sama menuntut hak-hak mereka
dalam serikat buruh. Serikat buruh
menjadi alat perjuangan bersama,
termasuk bagi buruhoutsourcing,
dan memberi kekuatan jauh lebih
besar dibandingkan harus berjuang
seorang diri.
* Penulis adalah Sekretaris
Perhimpunan Rakyat Pekerja
Makassar, sekaligus anggota Forum
Belajar Bersama Prakarsa Rakyat
dari Simpul Sulawesi Selatan.
Sumber (portal Prakarsa Rakyat atau
www.prakarsa-rakyat.org).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar